16 Okt 2011

Susahnya Berlaku Jujur



     Kejujuran, satu kata yang sederhana namun terkadang sulit diwujudkan. Jujur memaksa kita untuk berkata, bersikap dan berpikir sesuai kondisi yang sebenarnya. Apa susahnya? entahlah, tapi aku sendiri merasakan jujur tidak selamanya mudah dilakukan. Terlebih jika kejujuran itu menghambat keinginan kita, jika jujur itu merusak nama baik kita, jika jujur itu membuat orang membenci kita, jika jujur itu menghancurkan mimpi, merusak nilai ujian, membuat kita gagal.
     Sebuah pengalaman yang membuatku ragu untuk terus jujur.
Suatu saat aku dan salah satu teman berencana membuat suatu kegiatan pengabdian masyarakat untuk diajukan dalam PKM (Program Kreativitas Mahasiswa). Kami memutuskan untuk membuat kegiatan pelatihan dan perlombaan Paper toys untuk anak TK/SD di daerah korban Lumpur Lapindo Porong. Proposal sudah siap, tinggal meminta tanda tangan camat setempat di surat kerjasama. Awalnya, teman sekelompok kami yang lain mengusulkan untuk membuat surat kerjasama palsu, alasanyya proposal ini belum tentu diterima, jadi nggak masalah pakai surat palsu. Nnati kalo dah diterima, baru diurus bener-bener ke kantor kecamatan Porong. 
     Alasan yang masuk akal, namun entah kenapa nuraniku berontak. Ini bukan masalah proposal yang diterima atau tidak. Tapi membuat surat kerjasama baru berarti harus memalsukan tanda tangan. Ada ketakutan yang menjalari hatiku. Idealismeku yang selalu berusaha menjaga kejujuran menentang ide ini. Namun, mengingat ketidakjelasan tempat yang harus kami tuju, aku sempat hampir menyerah. Kami tidak mendapat info apapun terkait daerah di sekitar lumpur Lapindo yang sudah pasti berubah seiring meluasnya bencana ini. Beruntung partnerku yang lain tetap gigih untuk mencoba mengunjungi daerah sasaran, Porong.
     Sabtu, dua hari sebelum pengumpulan proposal di jurusan, kami berangkat ke Sidoarjo menaiki kereta Komuter. Pukul 11.00 kami berangkat dari asrama ITS menuju Gubeng. Sialnya, kereta baru saja berangkat sehingga kami harus menunggu kereta berikutnya pada pukul 13.20. Beruntung ada salah satu senior jurusan matematika yang juga menunggu kereta arah banyuwangi. Kami, aku, temanku dan senior itu, menunggu bersama sambil ngobrol ke sana kemari. Singkat cerita kami akhirnya berada di kereta komuter yang sudah kehabisan tempat duduk. Dengan terpaksa kami bergelantungan berdiri di kereta yang menyediakan pegangan tangan layaknya kereta-kereta luar negeri. Aku bukan orang yang sering naik kereta, sehingga pengalaman ini cukup membuatku deg-degan karena seringkali kehilangan keseimbangan saat kereta berhenti maupun mulai jalan dari stasiun-stasiun pemberhentian.
     Alhamdulillah, beberapa menit kemudian ada kursi yang kosong. Aku bisa duduk, merebahkan badan di sandaran kursi dan sukses terlelap. Sampai di stasiun poong kami seperti orang linglung yang tidak tahu arah. Tujuan kami jelas, kantor kecamatan Porong yang berdasarkan info dari seorang teman berada di daerah Juwet Kenongo. Kami akhirnya bertanya pada seorang bapak yang duduk di warung, anmun beliau tidak tahu daerah yang kami tuju. Selanjutnya kami bertanya pada supir angkot yang kebetulan mangkal di dekat stasiun. Pak supir mengatakan bahwa beliau tidak bisa mengantar kami ke tempat tujuan, tapi beliau akan mengantar kami ke pangkalan len yang menuju desa Juwet. Kami akhirnya menaiki Len itu. Setelah oper dua kali kami sampai di kantor kecamatan Porong.
     Kaget, kantor kecamatan sudah sepi. Beberapa anak SMP yang kebetulan ada disana menjawab, "Kan ini hari Sabtu, Mbak. Jadi Kantornya tutup." Dieng,,,
     Hopeless,,, Jauh-jauh ke Sidoarjo, diterpa panas dan debu jalanan yang nggak kenal ampun hanya untuk kesia-siaan. Bingung mau ngapain, kami cuma bengong di musholla kecamatan sambil memikirkan rencana selanjutnya. Beberapa menit kemudian kami sepakat untuk balik ke Surabaya. Di tengah lelah dan kecewa kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju stasiun. Sambil menikmati bumi Sidoarjo, begitu alasan kami. Beuh, rasanya telapak kakiku perih sekali. Lelah menapak jalan dengan suasana hati yang tidak menentu. Dalam penantian kereta arah Surabaya yang baru datang setengah jam lagi, Ana, Temanku mengutarakan idenya. "Gimana kalo kita balik lagi hari Senin? Aku kuliah siang kok." saat kemudian aku sepakat, sebuah sms masuk. Dari salah satu anggota kelompok PKM kami yang tidak ikut ke Sidoarjo. Dia mengusulkan usulan yang sama, membuat surat kerjasama palsu. Karena ternyata pengumpulan PKM tingkat jurusan dilaksanakna hari Senin jam 8 pagi. Tidak ada waktu untuk kembali ke Sidoarjo.
     Saat itulah aku berfikir, betapa kejujuran menjadi hal yang terkadang sulit dilakukan. Apalagi ketika kecurangan menjadi hal yang biasa dilakukan, misalnya saat ulangan. Menjadi hal yanga wajar ketika antar peserta ujian bekerjasama mengerjakan soal ujian. Aku sendiri pernah terjebak dalam kebiasaan ini selama tiga tahun. Tepatnya saat duiduk di bangku SMP. Kebiasaan ini kemudian sekuat tenaga aku hilangkan ketika menyadari nilai-nilaiku tidak lebih baik dengan melakukan kecurangan, justru semakin memburuk. Tiga tahun aku gagal meraih peringkat pertama  di kelas. Padahal sebelumnya prestasi itu menjadi hiasan dalam beberapa caturwulan di SD. Aku terus mempertahankan kejujuran saat ujian hingga saat ini, tahun terakhir di bangku kuliah (Amiin).
     Sebaliknya, ketika ada kecurangan yang dianggap wajar, adapula kejujuran yang selalu digembar-gemborkan untuk dilakukan. Pernah dengar kata-kata ini? "Jangan bohongi perasaanmu, jujurlah pada dirimu sendirimu. Kalau kau memang mencintainya, katakan terus terang padanya." Dimana kata-kata itu saat ujian tiba. Apa kejujuran hanya harus dilakukan untuk mengungkapkan perasaan cinta pada orang lain? Terlebih cinta pada lawan jenis yang kebanyakan hanya diliputi hawa nafsu. Haruskah kejujuran itu merusak makna cinta yang begitu suci? Haruskah kejujuran itu mematikan semangat belajar yang seharusnya terus membara?
     Aku memang bukan orang yang luput dari kebohongan. Namun alangkah indahnya jika kita senantiasa berusaha untuk menjaga kejujuran. Percaya atau tidak, pahitnya kejujuran adalah benih manisnya keberhasilan. So, aku selalu tanamkan dalam diriku, kunci sukses ada dua. Jujur dan Percaya. Jujur pada Allah, Jujur pada diri sendiri. Percaya pada Allah, percaya pada diri sendiri. Jika tekad ini sudah kita tanamkan dalam diri, maka percayalah, ada energi luar biasa yang akan menguatkan, mendorong dan menyokong kita dalam perjuangan.
Mari bersama menjadi muslim yang jujur,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar