30 Okt 2011

Bintang untuk Ulul

Ulul menatap langit malam melalui balkon rumahnya. Bocah perempuan berusia hampir delapan tahun itu senang sekali melihat bintang, menghitung dan menggabungkannya menjadi aneka benda dalam imajinasinya. Bunda mengajarkan kebiasaan itu sejak kecil.
“Kalau Ulul rindu ayah, keluarlah pada malam hari. Lihat bintang-bintang  yang menghiasi langit. Bintang-bintang itu jauh, tidak bisa disentuh tapi kita bisa melihat cahayanya, merasakan keberadaannya. Begitu juga dengan ayah. Dia jauh, tapi dia tidak akan pernah meninggalkan kita, seperti bintang yang terus memancarkan sinarnya.”
Kata-kata bunda menjadi penguat yang membuat Ulul tetap bertahan, menanti kedatangan ayah dari tempat yang jauh. Entah sampai kapan. Ulul berjanji kepada dirinya sendiri untuk tetap diam. Tidak akan pernah bertanya apapun tentang ayah kepada bunda. Ulul tidak ingin melihat senyum terluka bunda kembali muncul demi menjawab pertanyaannya.
Sudah empat tahun ayah pergi. Waktu itu di sepertiga malam, Ulul secara tidak sengaja terjaga dari tidurnya. Ia bangkit dari ranjangnya menuju kamar mandi. Ketika melewati kamar orang tuanya, sayup-sayup ia mendengar suara bunda menangis. Ini bukan pertama kalinya bunda menangis di sepertiga malam. Hampir tiap hari kejadian itu terulang. Namun malam ini berbeda, ada suara serak milik ayahnya yang terdengar diantara isakan bunda.
Ulul kecil tidak terlalu ambil pusing dengan kejanggalan malam itu. Sekembalinya dari kamar mandi. Ia tetap melanjutkan tidurnya hingga waktu subuh tiba. Bunda membangunkan Ulul untuk sholat jama’ah. Antara sadar dan tidak Ulul mengikuti jama’ah sholat shubuh yang diimami ayah. Dia belum seratus persen terjaga.
Usai sholat, ayah mendekatinya, menggenggam tangannya. Ulul masih tidak peduli. Ia terkantuk-kantuk di atas sajadah mungilnya. Ayah memeluknya, membisikkan beberapa kata.
“Ayah harus pergi, Sayang. Kita akan lama berpisah, tapi ayah akan selalu kirimkan hadiah untuk Ulul. Tepat di hari kelahiran Ulul, 17 Ramadhan.”
Suara ayah seperti mimpi dalam tidurnya. Lembut penuh kasih. Namun Ulul justru menangis sejadi-jadinya ketika ia sadar sepenuhnya. Ayah benar-benar pergi meninggalkan mereka berdua, Ulul dan bunda.
Empat tahun berlalu, dan ayah selalu menepati janjinya. Mengirimkan hadiah di hari ulang tahun Ulul. Momen itu menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu Ulul dalam hidupnya. Seminggu sebelum hari ulang tahunnya tiba, ia rajin memandang bintang tiap malam. Melukiskan benda-benda yang diinginkannya dengan menggabungkan bintang-bintang. Dan ayah seperti menangkap pesan darinya. Selama tiga tahun terakhir, Ulul benar-benar mendapat hadiah yang diinginkannya.
Malam ini, terhitung dua malam sebelum hari ulang tahunnya. Beberapa malam yang lalu ia melakukan ritual yang sama, menatap bintang-bintang di langit. Namun, entah kenapa ia tidak kunjung menemukan benda yang diinginkan. Ia hanya menginginkan satu hal, melihat ayah.
“Sayang, kenapa belum tidur? Besok kita harus bangun pagi untuk makan sahur.” Suara lembut bunda membuyarkan lamunan Ulul.
“Ulul sedang melihat bintang, Bunda. Dua hari lagi Ulul akan berulang tahun yang kedelapan.”
Bunda mengelus kepala putri semata wayangnya, “Ulul minta apa kepada ayah?”
Ulul menggeleng. “Ulul tidak minta apa-apa. Ulul hanya ingin,,,” kata-katanya tertahan. “ingin ayah selalu bahagia.”
Bunda tersenyum.
“Allah akan mengabulkan doa anak sholeh seperti Ulul.”
Bunda kini berdiri di samping Ulul. Ikutan menatap bintang.
“Kamu tahu, Sayang,,, Ulul adalah anugerah yang begitu besar untuk ayah dan bunda. Malam itu langit begitu cerah, bintang Nampak bertaburan dengan indah. Angin malam berhembus perlahan. Mengalirkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai penjuru dunia. Seluruh makhluq sempurna terlelap dalam ketakdziman bermunajat kepada Sang Pencipta Alam. Saat itulah engkau lahir. Tepat tanggal 17 Ramadhan, saat diturunkannya Al-Qur’an kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ayah dan bunda menangis haru menyambut kehadiranmu. Saat itu hanya satu nama yang ada di benak kami, Nuzulul Qur’an, turunnya Al-Qur’an. Karena kami ingin Ulul menjadi muslim Qur’ani. Mencintai, mengamalkan dan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar hidup”
Bunda mengalihkan pandangan ke Ulul yang kini berdiri menghadapnya.
“Sudah malam. Ayo tidur, Sayang.”
“Satu menit saja, Ulul ingin sekali lagi melihat bintang.”
Bunda mengangguk. Mencium kening putrinya lantas melangkah ke ambang pintu. Namun langkahnya terhenti demi mendengar do’a permata hatinya.
“Ulul cuma ingin ketemu ayah, Ya Allah. Ulul janji akan menjadi muslim Qur’ani seperti keinginan ayah dan bunda.”
Bunda mengusap ujung matanya. Hatinya berbisik, ”Amin,,,”
***
Seharian ini Ulul nampak ceria. Ia tidak tidur lagi setelah sholat shubuh. Ulul memilih berjalan-jalan keliling kompleks bersama bunda. Ia bahkan tidak perlu diingatkan untuk berangkat sekolah. Yah, sekolah Ulul masih harus masuk sampai hari kedua puluh lima Ramadhan. Saat sore tiba, dengan riang ia pergi mengaji di masjid dekat rumah. Dan sekarang, setelah buka puasa dan tarawih berjama’ah ia kembali berdiri di balkon. Menatap langit sambil sesekali menggerakkan jari tangannya yang teracung ke atas.
Bunda mengamati tingkah putrinya dengan pandangan haru. Teringat kembali dini hari ketika suaminya berpamitan untuk pergi. Mereka baru saja menyelesaikan Qiyamul lail, ayah menatap bunda dengan pandangan yang begitu dalam. Ada getir dalam tatapannya, namun bunda bisa melihat keteguhan di hatinya. Mereka sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya, tapi sampai saat itu bunda masih belum mengambil keputusan.
“Ayah mendapat panggilan itu. Panggilan suci yang akan mengangkat derajat manusia ke tingkat yang sangat tinggi. Percayalah, Allah akan menjaga kita semua.”
Bunda terisak, “Tapi Ulul masih kecil. Dia membutuhkan kedua orang tuanya.”
“Apa yang ia rasakan nanti, jauh lebih baik dari apa yang dirasakan anak-anak di sana. Mereka bukan hanya kehilangan keluarga. Tapi juga harus menghadapi keseharian hidup yang teramat berat. Ulul anak yang kuat, aku yakin dia bisa mengerti jalan yang kuambil.”
Semakin banyak buliran yang membasahi wajah bunda. Seiring dengan guncangan hebat yang dirasakannya. Ia tahu keputusan suaminya sudah bulat. Hanya karena cinta dan penghormatannya pada sang istri yang membuat ia tetap menunggu izin dari bunda.
Seperti ada duri yang mengiris-iris hatinya ketika kemudian ia mengangguk. Mengizinkan suaminya memenuhi panggilan jihad. Memperjuangkan agama Allah di tanah suci, Afghanistan. Entah kapan ayah akan kembali. Atau mungkin ia tidak akan kembali. Ya Allah,,, bunda tidak sanggup memikirkan hal itu lebih jauh lagi.
“Kriiing,,,,,,”
Suara telepon di ruang tengah membuyarkan lamunan bunda.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah, dengan bunda Ulul?” Tanya suara di seberang.
“Iya,” jawab bunda singkat. Ada getar yang tiba-tiba memenuhi rongga dadanya.
“Bunda,,, ayah Ulul telah mencapai derajat tertinggi di mata Allah. Beliau syahid. Besok jenazahnya akan sampai di Indonesia.”
Waktu seakan berhenti berjalan. Bunda terpaku. Telepon di tangannya kini menggantung, membiarkan suara di seberang di telan sepi. Ya Allah, sungguh ia siap dengan keadaan ini ketika ia mengizinkan suaminya pergi. Namun ia hanya manusia lemah tak berdaya. Matanya menatap jauh putri kecilnya yang berlari-lari ke arahnya.
“Bunda, Ulul lihat bintang yang teraaaang sekali. Baru malam ini ia muncul. Ia datang di malam kelahiran Ulul. Apa itu kado kiriman dari ayah?”
Bunda memeluk putrinya erat. Allah mengabulkan doamu, Sayang. Ulul akan melihat ayah. Bahkan di akhir hayatnya, ia masih menepati janjinya. Memberikan kado di hari ulang tahun Ulul. Bunda menatap langit gelap lewat pintu balkon yang terbuka. Ia bisa melihat sebuah bintang terang menghadap tepat ke arah mereka. Itu bintang untukmu, Ulul.

3 komentar:

Valerie Nie mengatakan...

jadi inget sahabatku nun jauh disana, dia sangat suka memandang bintang bahkan dia sangat tau ilmu astronomi padahal kuliah di pend. bahasa dan sastra Indonesia. dia sangat tau seluk beluk bintang, sedetail-detailnya...aku tak pernah tau kenapa dia sangat suka bintang, dia pun tak pernah memberi alasan. namun baca postingan ini jadi sedikit mengerti. mungkin dia punya jawaban yang sama dengan ulul. *air mataku gerimis

Miel, D'Smart Dimples mengatakan...

hmm,,, memang bnyak orang menganggap bintang melambangkan sswatu, seperti mimpi, orang yang dsayang, atau yang lain. disamping itu, bintang di tengah gelap malam menyimpan keindahan dan misteri,,, menyenangkan memang memandang bintang di langit lepas, tanpa penghalang,,,

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum...follow me too.. :) syukron

Posting Komentar