30 Okt 2011

Tetes Hidayah

Seberkas cahaya putih menerpa wajahku. Silau, kukatupkan kedua kelopak mata. Beberapa detik kemudian aku melihat bayangan seorang perempuan berusia 20an tersenyum ke arahku. Dia mengenakan gaun putih panjang yang menutupi sekujur tubuhnya. Selembar kain membungkus rapat kepalanya, menjuntai hingga menutup leher dan dadanya. Aku pernah melihat wajah itu sebelumnya. Entah di mana. Bagai terhipnotis aku melangkah pelan mendekatinya. Ada kedamain yang tiba-tiba menelusup di hatiku.
Perempuan itu merentangkan tangannya. Menyambut kedatanganku. Namun tiba-tiba genangan air muncul di hadapanku. Semakin meluas hingga hampir memenuhi seluruh ruang di antara aku dan perempuan itu. Aku mundur beberapa langkah. Genangan air itu terus mengejar. Aku semakin panik. Di kejauhan kulihat perempuan tadi mulai tenggelam. Aku menangis, berteriak sejadi-jadinya.
“Tolong,,,!!! Air,,,!!!”
“Mama,,,!!! Papa,,,!!!”
Tidak ada yang mendengar teriakanku. Aku sendiri. Dalam keputusasaan aku terjatuh. Menatap genangan air yang kian mendekat. Dadaku berdegup kencang. Ketakutan menjalari seluruh tubuhku. Aku merasakan kepalaku makin berat. Mataku meredup. Dan akhirnya semua gelap.
. . .
“Flow,,, bangun sayang. Ini mama, Nak,,,” sayup aku mendengar suara parau seorang wanita.
Kubuka mataku perlahan. Mama menggenggam tanganku erat, matanya basah. Di sampingnya, papa menatapku tak berkedip. Wajahnya penuh kekhawatiran.
“Ma,,,ma,,” ucapku pelan.
Mama memelukku. “Puji Tuhan,,, terima kasih Tuhan telah menyelamatkan putriku.”
“Flow,,,”
Aku menoleh. Di belakang mama, sebuah wajah oval dengan mata memerah berjalan mendekatiku dengan ragu.
“Maaf, aku nggak tahu kalau kamu phobia air. Kalau aku tahu, aku nggak akan memaksa kamu bermain di pantai.”
Aku menggeleng, “Nggak pa-pa, Nis. Aku yang salah. Aku juga ingin menikmati ombak laut seperti kalian. Padahal aku tahu, air sama sekali bukan sahabatku. Apalagi air laut.”
Nisa masih menatapku dengan wajah bersalah.
***
Aku bisa melihat bayangan diriku di depan kaca. Wajah bulat berpadu dengan rambut pendek sebahu. Sepasang bola mata hitam mendiami kelopak mata yang terlalu besar. Beruntung aku memiliki hidung mancung dan bibir mungil yang sedikit mengurangi kesan bundar wajahku. Sepasang jurang kecil bertahta di pipi, memberi kesan manis pada semburat coklat yang mendominasi kulitku.
Seketika aku teringat perempuan dalam halusinasiku. Ada sedikit persamaan di wajah kami. Dia tidak bisa menyembunyikan mata besarnya meski dengan tatapan sendunya sekalipun. Mata yang sama, hampir kembar.
“Flowren,,,”
Aku menoleh, “Ya, Ma?”
“Kamu yakin sudah benar-benar sehat?”
“Sudah, Ma. Kan bukan sekali dua kali Flow pingsan saat melihat air mengalir. Lagian hari ini ada ujian. Flow harus masuk kuliah.” Kulirik patung Yesus yang tergantung di dinding ruang tengah. Beri aku kemudahan, Tuhan.
Kucium pipi mama dan segera berlari keluar rumah.
“Hati-hati, Flow!”
Kubalas pesan mama dengan lambaian tangan dan senyum nakal. Tidak perlu khawatir, Yesus tidak akan membiarkan gadis manis sepertiku berada dalam bahaya,,
Mama adalah orang yang paling khawatir jika terjadi apa-apa denganku. Hal yang wajar memang. Mengingat aku adalah anak semata wayang yang baru muncul setelah penantian hampir sepuluh tahun. Papa bekerja sebagai juragan ikan yang menampung ikan-ikan dari para nelayan. Mama pernah bercerita, saat usia empat tahun aku hampir tenggelam di laut. Waktu itu aku ikut papa ke pantai untuk menampung perolehan ikan-ikan dari nelayan. Saat papa sedang sibuk dengan pekerjaannnya, aku berjalan ke pantai dan terbawa ombak. Beruntung aku bisa diselamatkan. Tapi kondisiku cukup parah, aku mengalami depresi dan ketakutan yang membuatku menderita pobhia air, terutama air laut. Tekanan itu juga membuatku kehilangan memori masa kecilku.
“Flow!” aku terbangun dari lamunan.
“Hai, Nis,,,”
“Kamu udah sehat?”
Aku manyun,”Hei, Non. Flowren Grancia bukan orang yang lemah. Jangan kaya mama deh, khawatir mulu.”
Nisa menjitak kepalaku. “Jangan Ge-Er ya,,, aku bukannya khawatir tapi merasa bersalah aja. Lagian, orang kok aneh. Masak phobia sama air, terus gimana kamu mandi?”
“Kan biarpun gak mandi udah wangi.” Aku tersenyum usil.
Nisa cuma geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba sebersit pikiran usil muncul di benakku. “Nis, kenapa sih rambut kamu pake ditutup kain gitu? Nggak gerah apa?”
“Ini kewajiban wanita sebagai seorang muslim, Flow. Untuk menjaga perhiasan kita yang teramat indah.”
“ Hellow,,, gimana kamu bisa laku kalau perhiasanmu diumpetin kayak gitu?”
“Justru itu, Flow. Kita nyari pasangan yang nggak hanya melihat keindahan fisik kita. Tapi karena kepribadian kita.” Kata Nisa mantap.
“Tapi menurutku hampir semua lelaki memperhitungkan keindahan fisik wanita. Setidaknya sebelum mereka benar-benar memahami kepribadian kita.”
Nisa menatapku serius. Lalu dengan senyum manisnya ia berkata, “Dan apa aku terlihat tidak menarik dengan jilbab ini? Apa kamu melihat jilbab ini sebagai pembungkus biasa yang benar-benar menghilangkan hak kita sebagai makhluk yang indah?”
Sekarang aku malah bengong. Ya Tuhan, dia tetap terlihat cantik dengan jilbabnya. Aku bahkan merasa dia begitu anggun dan berharga.
Nisa seakan menangkap perubahan ekspresiku. “Flow, kamu percaya inner beauty?”
Aku mengangguk, “Iya, aura yang terpancar dari kebersihan hati seseorang.”
“Nah, itu yang harus kita miliki. Kecantikan fisik bisa saja direkayasa. Tapi inner beauty,,, dia akan muncul dengan sendirinya. Dan hanya pasangan yang baik yang akan memilih kita karena kecantikan hati, bukan fisik.”
Nisa benar. Tapi aku juga selalu yakin agamaku mengajarkan kebenaran. Setiap agama pasti memiliki cara tersendiri untuk melindungi pemeluknya. Seperti ruh kudus yang selalu menjaga hatiku.
“Hei!” Nisa menepuk pundakku,”nggak usah sok mikir deh.”
“Ih, sialan. Sapa juga yang mau mikirin kata-kata ustadz Nisa.”
Nisa ngakak,”Ustadzah, Non. Ustadz tuh buat cowok.”
Aku tersipu. Salah deh. Siapa suruh pake istilah-istilah bahasa Arab gitu, aku kan nggak ngerti,,,
***
Aku duduk di serambi musholla. Menunggu Nisa yang tengah mengajar anak-anak mengaji. Entah kenapa aku senang melihat bocah-bocah kecil itu tertatih melafalkan huruf Arab. Menghafal do’a-do’a dan surat-surat pendek di Al-Qur’an. Terkadang aku iri karena mereka begitu bersemangat menghafal bagian demi bagian dari kitab sucinya. Sementara aku, jangankan menghafal, aku bahkan membuka Injil sekali dalam seminggu. Itupun dengan panduan Bapa Raymon saat ibadah hari Minggu.
Pernah suatu kali aku menanyakan hal ini kepada Bapa Raymon. Dia cuma tersenyum, lalu berkata, “Flow, Injil bukan untuk dihafal tapi difahami dan diterapkan dalam kehidupan kita. Untuk apa kita menghafalkan Injil kalau ternyata kita sama sekali tidak memahaminya. Yang terpenting bagaimana kita merealisasikan ajaran Injil sebagai pedoman hidup kita.”
Yah, aku tahu itu. Tapi tetap saja aku merasa iri. Bagaimana bisa orang-orang Islam begitu mencintai kitab suci mereka. Hingga rela meluangkan begitu banyak waktu untuk mengkaji dan menghafalnya.
Seorang bocah berjilbab hijau muda dengan dua telinga kelinci di kepalanya mendekatiku.
“Kakak, bantu Nina baca Iqro’ yah,,,”
Bocah itu menatapku penuh harap. Matanya yang bercelak tertekan pipi tembem di kanan kirinya.
 “Kakak nggak bisa baca Iqro’, Sayang.”
Bocah itu cemberut. Aku jadi gak tega.
“Oke, Kakak dengerin Nina baca aja yah,,,”
Nina tersenyum riang. Ia lalu duduk di sampingku dan mulai mengeja Iqro’nya.
Ini pertama kalinya aku melihat buku yang disebut Iqro’ itu, tapi entah kenapa aku begitu familiar dengan huruf-huruf yang tertulis di dalamnya. Bentuknya aneh, sebuah lengkung mendatar dengan dua titik di atasnya.
“Ba,”
“Itu huruf ta, Sayang.” Kataku refleks membenarkan.
“Kamu bisa baca huruf Hijaiyah?” Nisa tiba-tiba sudah di belakangku.
Aku sendiri bingung. Bagaimana aku bisa mengenali huruf-huruf itu? Aku seperti merasakan sengatan di kepalaku. Sayup kudengar suara seorang perempuan mengeja huruf-huruf asing.
“a,,,ba,,,ta,,, ba,,,ha,,,ja,,, ka,,,la,,,ma,,,”
Suara itu terdengar semakin jelas seiring dengan semakin bertambahnya rasa sakit yang membebani kepalaku.
“Flow? Flow?” suara Nisa terdengar khawatir.
Pandanganku kabur. Bayangan putih memenuhi indera penglihatanku. Kosong. Hingga mataku menangkap sosok perempuan yang duduk di depan dua bocah, laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki muda berdiri di belakang perempuan itu, tersenyum menyaksikan adegan di depannya. Dua bocah itu mengeja huruf demi huruf yang tertulis di buku kecil. Aku tidak bisa melihat tulisan itu. Tapi aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka ucapkan.
“ja,,,la,,,sa,,, ma,,,na,,,’a,,,”
Ya Tuhan,,, apa arti semua ini?
. . .
“Flow??” suara Nisa menyadarkanku. Ketika aku membuka mata. Aku sudah terbaring di atas lantai dingin. Di dalam bangunan dengan tembok kayu dan atap genting yang rendah.
“Alhamdulillah,,, aku khawatir banget, Flow.” Nisa mengelus tanganku dengan mimik cemas. Satu meter di belakangnya seorang pemuda membawa segelas air putih.
“Berikan minum ini padanya,” kata pemuda itu sambil menyerahkan gelas berisi air itu kepada Nisa.
Beberapa menit kemudian aku sudah berada di samping Nisa yang memegang kemudi mobil. Dia memaksa untuk mengemudikan mobilku karena khawatir dengan kondisiku yang akhir-akhir ini semakin sering jatuh pingsan.
“Kamu kenapa sih, Flow? Kemarin pingsan karena pobhia air. Sekarang pingsan lagi. Jangan bilang kamu juga pobhia anak kecil…”
Aku tertawa. “Aku juga nggak tau, Nis. Tiba-tiba kepalaku sakit banget. Dan akhir-akhir ini aku sering sekali berhalusinasi dalam pingsanku. Aku seperti melihat seorang perempuan dengan busana yang menutupi seluruh tubuhnya. Matanya sendu. Dan aku merasa damai setiap kali melihatnya.”
Nisa mendengarkanku dengan serius. “Kamu mengenali perempuan itu?”
Aku menggeleng.”Tapi kami memiliki mata yang sama.”
Masih dengan tampang serius, Nisa berkata,”Mata ukuran jumbo itu?”
Kujitak kepalanya. Nisa tergelak.
“Eh, ngomong-ngomong siapa cowok yang berdiri di belakangmu tadi?”
Nisa memutar setir. “Siapa? Alif?”
“Yang tadi ngasih gelas minum buat aku.”
“Iya, namanya Alif. Dia teman ngajarku. Kamu sih tiba-tiba pingsan. Aku bingung minta tolong siapa. Untung ada dia. Kenapa? Naksir?”
“Enggak, aku cuma tertarik sama matanya.”
“Mata?”
“Matanya jumbo juga.”
Lagi-lagi Nisa tergelak. “Konyol kamu, Flow.”
“Aku seneng aja ada orang lain yang punya mata sebesar mataku. Berarti ukuran ini masih tergolong wajar.”
Kami tertawa bersama. Nisa adalah teman yang baik. Meski kami berbeda keyakinan. Dia muslim sementara aku katolik. Tapi hanya itu perbedaan di antara kami. Selebihnya kami tak ubahnya saudara kembar. Selalu klop, baik dari selera maupun cara berfikir. Aku mengagumi prinsipnya yang tidak mau menjalin hubungan dengan lawan jenis sebelum terikat pernikahan.
“Agamaku melarang pacaran, Flow. Dan aku rasa itu hal yang tepat. Untuk apa kita membuang-buang waktu dengan seseorang yang belum bisa dimintai pertanggungjawaban atas diri kita. Lain halnya jika kita sudah menikah. Apapun yang terjadi, itu adalah tanggung jawab bersama. Semua ada waktunya. Dan jika kita bisa melakukan sesuai aturan Tuhan, tidak ada alasan untuk tidak bahagia.”
Itu sebabnya dia begitu menjaga hubungan dengan lawan jenis. Termasuk dengan Alif, partner mengajarnya.
“Alif cakep ya, Nis?” godaku.
“Oh ya?” jawabnya cuek. Tapi tetap tidak bisa menyembunyikan pipinya yang memerah.
“Masa sih kamu nggak suka sama dia? Kan tiap hari kalian ngajar bareng.”
“Siapa bilang aku nggak suka dia?” sahutnya. Tetap dengan nada cuek.
Aku tersentak, “Jadi kamu suka Alif?”
“Suka, sebagai saudara seIslam.”
“Ah, kamu. Kayaknya dia orang baik. Cakep lagi.” Kataku jujur. Meski tetap dengan maksud menggoda Nisa.
“Dia memang baik. Tapi over silencer.”
“Oh ya?” tanyaku. Semakin bersemangat.
“Dia kehilangan seluruh keluarganya dalam kecelakaan belasan tahun lalu. Mungkin karena itu dia jadi pendiam.”
Ya Tuhan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan seluruh keluarga dalam waktu bersamaan. Diam-diam aku bersyukur, Tuhan masih mengizinkanku memiliki keluarga lengkap.
***
Aku melangkah dengan berjingkat. Sengaja. Aku ingin mengagetkan papa dan mama yang tengah berbincang di ruang TV. Tapi langkahku terhenti. Mama dan papa sedang bertengkar. Masalah itu lagi. Akhir-akhir ini santer terdengar berita perselingkuhan papa dengan salah satu karyawannya.
“Ma, berita itu tidak benar. Itu hanya fitnah murahan yang disebarkan oleh orang yang tidak suka sama papa.”
“Tapi semua orang membicarakan hal itu, Pa. Mama sudah tidak tahan lagi.” Mama mulai terisak.
“Gosip itu hanya akan tahan beberapa hari. Setelah itu tidak akan ada lagi orang yang membicarakannya.”
“Sebagai wanita mama tidak sempurna. Mama tidak bisa memberikan keturunan untuk Papa.”
Papa tersentak, ”Mama ini ngomong apa, sih. Kita kan punya Flowren.”
“Tapi dia tidak lahir dari rahimku.”
Seakan ada petir yang menyambar tubuhku. Ya Tuhan,,, apalagi ini? Air mataku jatuh. Sisi hatiku berontak menuntut kebenaran namun sisi yang lain mengingatkanku akan kasih sayang mama dan papa. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju dermaga. Membiarkan semilir angin menerbangkan rambutku. Menguapkan tiap detail partikel firtual yang bersarang di dadaku. Sesak.
Langit menatap lembut dengan semburat jingga. Menyelimuti sang surya yang tertinggal di ujung barat. Memotong garis laut dengan pita cahaya. Senja ini begitu indah. Meski terlalu kontras dengan suasana hatiku yang suram. Kenyataan ini terlalu mendadak. Mataku menerawang. Menembus bayangan nelayan yang hilir mudik mempersiapkan perahunya. Sepuluh meter dari tempatku duduk, aku melihat seorang pemuda berdiri menatap laut lepas. Alif.
Aku berjalan mendekatinya. Ketika jarak kami lebih dekat aku bisa mendengar dia menyanyikan sebuah lagu. Nadanya lembut, sangat lembut. Aku tidak bisa memahami bahasanya.
“Yaa nabii salam ‘alaika, yaa rasuul salam, salam ‘alaika,,,,”
“Permisi,”
Dia menoleh, melihatku sejenak lalu kembali melepaskan pandangan ke laut.
“Kamu orang yang pingsan di musholla kemarin?”
“Iya,” jawabku pelan. Kami berdua hanya diam. Aku jadi salah tingkah. Nisa benar tentang cowok ini.
“Senja yang indah.” Kataku akhirnya.
“Yah, bahkan dalam kesendirian sekalipun.”
Jawabannya menggetarkan hatiku. Aku teringat cerita Nisa kemarin. Alif memang tampak sangat kehilangan. Ternyata aku masih jauh lebih beruntung. Aku memang bukan anak kandung mama dan papa. Tapi setidaknya mereka menyayangiku seperti anak mereka sendiri.
“Namaku Flow, Flowren Gracia. Terima kasih telah menolongku kemarin.”
Alif mengangguk. Diam-diam aku memperhatikannya. Garis wajahnya benar-benar lembut. Ia menyimpan aura ketenangan dan kedamaian di seluruh segmen wajahnya. Beberapa helai rambut jatuh di keningnya. Sesekali melayang tertiup angin.
Sayup kudengar suara adzan. Menembus senja merah menggetarkan sanubari. Alif mulai bergeming.
“Saatnya menemui Allah.” Katanya.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Membiarkannnya berlalu meninggalkanku. Andai aku bisa menemui Tuhan lebih sering lagi,,,
***
“Ma, Flow sayang sama Mama. Flow ingin Mama jujur,,,” kugenggam tangan mama.
Mama menatapku heran, “Jujur?”
Aku tersenyum lembut, “Siapa orang tua kandungku?”
Mama tersentak, tangannya bergetar. Dia melepaskan genggamanku perlahan.
“Kami orang tua kandungmu, Flow. Mama dan papa.” Kata mama akhirnya.
“Flow yakin mama akan mengatakan yang sebenarnya. Tidak perlu ada kebohongan. Mama dan papa tetap akan menjadi orang yang sangat aku sayangi.”
Mama mulai terisak. Dia meletakkan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Menahan arus deras butiran bening yang mengalir dari matanya. Aku membiarkan mama larut dalam isak tertahan. Sampai ia cukup tenang untuk mengatakan kebenaran tentang orang tua kandungku.
“Enam belas tahun lalu, seorang nelayan menemukan bocah kecil mengapung di tengah laut dengan mengenakan sebuah pelampung. Nelayan itu membawa bocah tersebut ke daratan dan melaporkan kepada papamu. Kami membawa bocah itu ke rumah sakit. Kondisinya parah. Ia mengalami koma selama tiga hari. Ketika dia sadar, dia mengalami depresi yang luar biasa. Ia bahkan tidak ingat siapa dirinya. Di hari yang sama saat ditemukannya bocah itu, sebuah kapal laut mengalami kecelakaan dalam penyebrangan. Separuh penumpangnya dinyatakan tewas. Beberapa orang tidak bisa ditemukan. Kami meyakini bocah itu sebagai bagian dari kecelakaan tersebut. Mama dan papa yang saat itu belum memiliki anak di usia pernikahan kami yang sudah senja bermaksud untuk mengadopsi bocah itu. Keinginan itu membuat kami enggan untuk melaporkan keberadaan salah satu korban ke pihak yang berwajib. Kami merawat bocah itu dengan penuh kasih sayang sampai sekarang.”
“Bocah itu aku?” kataku dengan suara bergetar.
Mama mengangguk.
“Kenapa Mama tidak membiarkanku kembali ke keluargaku? Ada kemungkinan mereka masih hidup kan, Ma?”
“Kedua orang tuamu meninggal dalam kecelakaan itu. Tapi mungkin kamu masih punya keluarga lain. Kami memang egois. Kami benar-benar ingin memilikimu, Nak. Maafkan Mama dan Papa,,,”
Seperti ada bongkahan es di hatiku. Dingin menyesakkan. Kenapa mama dan papa tega melakukan hal ini?
“Flow, maafkan Mama.”
Aku hanya diam. Enam belas tahun mereka memisahkan aku dari keluargaku. Tapi mereka juga yang menyelamatkan nyawaku. Ya Tuhan,,,
***
Air mataku tumpah.
“Kenapa mereka tega melakukan ini kepadaku, Nis? Padahal aku sangat menyayangi mereka.”
Nisa mengelus rambutku dalam pelukannya, “setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, Flow.”
“Tapi ini keterlaluan. Aku berhak tahu siapa keluargaku.”
Nisa melepaskan pelukannya. Membiarkanku duduk berhadapan dengannya. “Dengar, Flow. Aku tahu ini berat tapi cobalah untuk memaafkan mereka. Tidak ada gunanya menyimpan kemarahan. Bagaimanapun juga mereka yang merawatmu selama bertahun-tahun.”
Entahlah, pikiranku kacau. Aku bahkan mulai membayangkan seperti apa orang tua kandungku. Siapa dan dimana keluargaku. Dalam kondisi tertekan, tiba-tiba aku melihat Nina berlari tergesa menuju ke arah kami yang duduk di serambi musholla.
“Nina?” kataku.
“Kak,,, kak,,, kak Alif kecelakaan,,,” kata Nina tergagap.
“Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun,,,, di mana, Nin?” Tanya Nisa panik.
“Di jalan depan, Kak. Tapi udah dibawa ke rumah sakit.”
“Ya Allah, Nina kasih tau teman-teman yah. Ngaji kita hari ini libur dulu. Kakak mau nengok Kak Alif di rumah sakit.”
“He’em.” Nina mengangguk mantap. Lalu berlari memasuki musholla.
Aku dan Nina lantas menuju mobil yang mengantar kami ke rumah sakit terdekat. Alif masih dirawat di ruang UGD. Dia mengalami patah tulang di lengan kanannya. Satu jam kemudian dia dipindah ke ruang lain untuk melakukan operasi.
Seorang perawat menghampiri kami.
“Keluarga saudara Alif?” tanyanya.
“Kami temannya.” Jawabku.
“Ini barang-barang milik pasien.” Kata perawat itu sambil menyerahkan tas ransel Alif.
Aku menerimanya tergesa. Tiba-tiba selembar kertas jatuh dari tasnya. Sebuah gambar foto. dua orang dewasa dan dua anak-anak. Masing-masing laki-laki dan perempuan. Seperti gambar suami istri dengan kedua putra-putrinya. Wajah mereka nampak tidak asing. Aku pernah bertemu mereka sebelumnya. Gadis kecil itu,,,
***
“Terima kasih,” kata Alif begitu bangun dari pingsannya.
“Maaf, kami belum menghubungi keluargamu. Ponselmu rusak karena kecelakaan tadi, jadi kami tidak bisa menemukan nomer telepon yang bisa dihubungi.” Kata Nisa.
Alif mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, hanya ada nenek. Beliau pasti cemas kalo mengetahui kejadian ini. Lebih baik beliau tidak tahu.”
Aku masih dihinggapi penasaran dengan orang-orang dalam foto yang jatuh dari tas Alif.
“Ini foto siapa?” kataku sambil menunjukkan foto itu.
“Kedua orang tuaku.” Jawabnya pendek.
“Dan dua anak kecil ini?”
“Aku dan saudara kembarku.”
Badanku lemas seketika. Bayangan wanita bergaun putih muncul kembali dalam ingatanku. Aku melihat senyumnya, mata besarnya yang selalu sendu. Dan suara merdunya saat mengajari dua bocah mengeja huruf-huruf dalam buku kecil. Seorang lelaki melihat mereka dengan senyum berkembang. Kini aku bisa melihat wajah dua bocah di depannya. Mereka memiliki mata yang sama. Bola mata hitam dengan kelopak besar.
“Apa mereka meninggal dalam kecelakaan kapal?”
Alif hanya diam. Dia memandang lurus ke arahku. Nisa memandang kami bergantian. Seakan bingung dengan apa yang terjadi.
“Siapa putri yang akan bertemu dengan Alif di surga nanti?” Tanya Alif kemudian.
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia tanyakan. Tapi entah kenapa mata Alif memancarkan keyakinan bahwa aku bisa menjawab pertanyaannya.
“Katakan apa saja yang ada di pikiranmu. Aku yakin kamu tahu.”
Sekali lagi aku merasakan sengatan di kepalaku. Di ujung kesadaranku aku mendengar bocah kecil menyebut satu nama, Alifah,,,
“Alifah,,,” aku sempat mengatakannya sebelum akhirnya jatuh di pelukan Nisa.
. . .
“Kita akan selalu bersama sayang. Suatu hari nanti kita akan pergi bersama-sama ke tempat yang sangat indah. Ada Ummi dan Abi juga pangeran Alif dan putri Alifah. Di sana kita bisa makan apapun yang kita mau, bisa bermain aneka permainan.” Seorang perempuan muda bercerita pada dua bocah di depannya.
“Tempat apa itu, Ummi?” Tanya putranya.
“Itu adalah surga. Tempat untuk orang-orang yang taat pada Allah, patuh pada orang tua dan senantiasa berbuat baik pada sesama.” Jawab sang ayah.
“Bagaimana jika suatu hari kita berpisah. Apa kita tetap akan pergi ke surga bersama?” kini giliran putrinya yang bertanya.
Perempuan itu mengelus kepala putrinya, “Kita akan tetap bertemu di surga sayang. Tidak peduli seberapa jauh dan berapa lama kita berpisah. Putri Alifah akan tetap bertemu pangeran Alif. Saat itu Ummi dan Abi akan menghampiri kalian dan membawakan sebuah apel besar berwarna kemerahan.”
Dua bocah itu tersenyum, lantas memeluk kedua orang tuanya.
. . .
“,,, kami berdua kembar, suatu hari Abi mendapat undangan untuk mengikuti rapat tahunan sebuah organisasi kemasyarakatan di luar pulau. Abi membawa Ummi dan Alifah bersamanya. Sedangkan aku yang sering mabuk kendaraan dititipkan kepada nenek. Mereka khawatir aku akan jatuh sakit jika dipaksa ikut. Saat itu aku masih berusia empat tahun. Tidak disangka Allah menghendaki kecelakaan itu terjadi. Kapal yang dinaiki keluargaku mengalami kebakaran di tengah laut. Ummi dan Abi ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Sedangkan Alifah dinyatakan hilang. Kami, aku dan Alifah, memiliki ikatan bathin yang cukup kuat. Hal itu yang membuatku yakin bahwa ia masih hidup. Hingga hari ini Allah menakdirkan kami bertemu.”
Aku bisa mendengar jelas penuturan Alif, meski dalam keadaan setengah sadar. Aku membuka mata perlahan. Di depanku Nisa duduk menghadap ke ranjang Alif. Sementara aku terbaring di kursi tunggu. Beberapa kali aku melihatnya menyeka air mata. Alif sendiri nampak menahan air mata yang mendesak di kelopak matanya.
***
Beberapa bulan kemudian,
“Subhanallah, Flow, eh Alifah,,,” Nisa menatapku dengan sumringah.
Hari ini menjadi hari baru untukku. Aku kembali pada keyakinan yang telah kutinggalkan selama bertahun-tahun. Kebenaran masa lalu yang telah terungkap menimbulkan goncangan hebat dalam diriku. Bimbang menyertai hariku selama beberapa bulan, hingga aku menemukan keyakinan yang meresap melalui hidayahNya. Saat ini aku berdiri berdampingan dengan saudara kembarku. Mengenakan gamis putih yang menjuntai hingga mata kaki. Selembar kain sutra putih membungkus rapat kepalaku, menyisakan ujung memanjang menutupi leher dan dada. Aku kembali padaMu Ya Allah.
“Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah yang menurunkan hidayahNya pada sahabatku.” Nisa mengusap sebutir embun di ujung matanya.
“Ummi benar, insyaAllah kami akan bertemu di surgaNya.” Kata Alif lirih. Tetap dengan gaya dinginnya.
“Aku ingin mengajak seseorang untuk bersama-sama menemui Abi dan Ummi.” Kataku.
Alif menoleh ke arahku, “Siapa?”
Aku menarik lengan Nisa. Sambil tersenyum nakal kukatakan, “Calon saudara iparku.”
Nisa mendelik. Pura-pura protes dengan pernyataanku.
Dengan sebuah senyum simpul, Alif menjawab, “InsyaAllah.”
Aku bisa melihat dengan jelas raut muka Nisa yang mendadak merah. Ya Allah, pertemukan kami di surgaMu. Amiin,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar