30 Okt 2011

Wanita di Ujung Senja

Aku tengah mendengarkan Susan mengaji ketika tiba-tiba ada yang bergetar di saku gamisku. Sederet huruf terpampang di layar ponsel, ibu,,,
“Kapan pulang, Ras?” tanya suara di seberang.
“Belum tau, Bu.” Jawabku.
“Koq sekarang Laras sudah mulai lupa rumah ya?” nada suara ibu sedikit meninggi.
“Kan belum genap dua minggu sejak kepulangan Laras kemarin, Bu. Minggu depan masih ada acara.”
“Kalau semua acara diikuti ya nggak bakal ada selesainya, Nak”
“Iya Bu, kalau ada waktu kosong Laras segera pulang.”
Aku mendesah, selalu saja begini. Ibu masih belum bisa memahami kesibukanku sebagai aktivis kampus yang tidak hanya berkutat dengan bidang akademik saja. Memang kuakui, seringkali aku lebih mementingkan agenda organisasai yang memenuhi akhir pekanku ketimbang menyempatkan waktu pulang ke rumah. Padahal jarak rumah dengan kampus tidak terlalu jauh. Hanya empat jam perjalanan dengan angkutan umum. Tapi bukan itu masalahnya, aku punya tanggungan amanah yang cukup besar di kampus. Sebagai aktivis dakwah, aku harus siap kapanpun dan dimanapun ladang dakwah terbuka.
“Kak, Susan sudah selesai baca iqro’nya. Susan boleh pulang ya,,,” Gadis kecil berjilbab di sampingku merengek manja. Mata belonya penuh harap.
Aku tersenyum, “Tunggu teman-teman yang lain ya,,,” jawabku sambil mentowel pipi tembemnya.
Susan mengangguk lucu, lantas berlari kecil menuju teman-temannnya yang selesai mengaji.
Sudah satu minggu ini aku mengajar di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang terletak di pesisir pantai. Bangunan yang disebut TPA ini merupakan musholla kecil dengan pintu menghadap ke laut lepas. Setiap sore ba’da ashar, banyak anak-anak kecil di sekitar perkampungan nelayan yang datang ke musholla untuk belajar mengeja huruf hijaiyah. Aku mulai menikmati aktivitas ini, termasuk menghabiskan senja dengan memandang pantai yang memantulkan cahaya jingga sang surya.
Senja kian menggelap. Beberapa menit yang lalu anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa aku menyempatkan jalan-jalan mendekati pantai sambil menunggu waktu maghrib tiba. Ada ketenangan tiap kali kulihat matahari merangkak perlahan menuju peraduannya. Kubiarkan semilir angin menerbangkan ujung jilbabku. Aku kembali teringat ibu. Ya Allah, bagaimana aku bisa menjelaskan kepada kedua orang tuaku tentang jalan yang kupilih.
Sayup kudengar suara adzan berkumandang dari arah musholla. Bersamaan dengan itu, indera penglihatanku menangkap sosok wanita berjalan terhuyung dari arah pantai. Aku mendekatinya.
“Ibu tidak apa-apa?”
Wanita itu menatapku dengan mata kuyu, seulas senyum tersungging dari balik bibirnya yang memucat. Dia menggeleng perlahan.
“Saya antar ke rumah Ibu ya?” kataku sambil memapahnya.
Ibu itu kembali menggeleng, “Rumah saya dekat kok, Nak. Itu di sebelah sana.” Katanya sambil menunjuk bangunan kecil di balik pohon kelapa.
Dia melepaskan peganganku, lantas kembali melangkah pelan ke arah rumahnya. Aku terus menatapnya hingga sosoknya hilang di balik pintu.
Sejak hari itu, aku selalu melihatnya menghabiskan waktu senja di tepi pantai. Menatap laut dengan ekspresi yang sukar diartikan. Dia hanya sendiri, diam tanpa sepatah kata. Sesekali mimiknya berubah ketika melihat kapal nelayan yang datang dari berlayar. Matanya seperti mencari-cari seseorang di balik kerumunan para nelayan. Namun ia kembali terpaku ketika ia tak menemukan orang yang dicarinya.
Suatu sore, selepas mengajar ngaji kusempatkan untuk menemuinya. Dia duduk di atas batu besar yang berada tepat di ujung pantai. Selendang yang melingkari lehernya berkibaran tertiup angin. Aku mendengar beberapa kali ia terbatuk.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
Dia nampak agak terkejut, “Wa,,wa’alaikumussalam,,,”
Aku tersenyum, “Boleh saya duduk disamping Ibu?”
Ibu itu menatapku heran, seperti mencoba mengenaliku.
“Saya orang yang kemarin bertemu Ibu di sini. Waktu itu, ibu mau pulang. Saya menawarkan diri untuk mengantar Ibu.”
Ekspresinya berubah cerah, “Oh, mari-mari silahkan duduk.” Jawabnya sambil menggeser sedikit posisi duduknya.
“Ibu menunggu seseorang?”tanyaku.
“Iya, putra saya.” Mimik mukanya nampak sedih.
Aku menangkap kerinduan dalam kata-katanya.
“Dia,,,di mana?” kataku hati-hati.
“Berlayar, di tempat yang jauh. Biasanya dia pulang tiga bulan sekali.” Lanjutnya, “dia berlayar ke berbagai tempat, dan pasti pulang genap tiga bulan. Saya selalu menunggunya di sini. Dia akan datang menghampiri saya dan menunjukkan hasil kerja kerasnya.”
“Ibu tidak merindukannya?” tanyaku. Pertanyaan bodoh. Mana mungkin ibu itu rela menghabiskan waktu di tepi pantai untuk menunggu putranya jika ia tidak merindukannya.
Ibu itu menoleh, menatap mataku.
“Tidak ada satupun di dunia ini ibu yang tidak merindukan anaknya. Tapi kita para wanita diberi porsi kesabaran lebih tinggi oleh Allah untuk bisa menanggapi segala hal bukan hanya dengan logika tapi dengan hati. Bohong jika saya mengatakan tidak rindu pada putra saya. Tapi apakah saya harus memaksakan kerinduan saya dan menghalanginya mengejar mimpi?”
“Ibu tidak marah karena ditinggal putra Ibu dalam waktu yang cukup lama?”
Ibu itu menggeleng, “Saya tau apa yang dikerjakannya adalah perbuatan mulia. Dia bekerja untuk saya. Sejak suami saya meninggal beberapa tahun lalu, dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Meski terkadang kerinduan menguasai emosi dan membuat saya tidak rela ditinggalkan.”
Aku kagum dengan kesabarannya. Andai saja ibuku bisa mengerti bahwa ketidak pulanganku karena menjalankan amanah ummat. Menegakkan ajaran Islam yang mulai asing di kalangan pemeluknya.
“Berarti sebentar lagi dia akan pulang? Karena itu Ibu menunggunya?”
“Seharusnya dia sudah pulang satu minggu yang lalu. Tapi entah kenapa, sampai sekarang dia belum juga kembali.” Wajahnya menampakkan kekhawatiran.
Suara adzan mengalir merdu lewat sel-sel udara, menyadarkanku akan datangnya mega-mega merah yang menjadi pertanda waktu maghrib.
“Sudah maghrib, Bu. Saya antar pulang, yah?”
Dia tersenyum, “Terima kasih, biarkan saya tetap di sini beberapa menit lagi.”
Aku tidak tega memaksanya. Kubiarkan ia sendiri menanti kedatangan putranya.
Hari-hari berikutnya aku tidak lagi melihat ibu itu duduk di tepi pantai. Mungkin putranya telah kembali. Selepas mengajar, dengan ditemani Susan aku berkunjung ke rumah ibu itu.
Beberapa kali kuketok pintu, tidak ada jawaban. Hingga akhirnya kuputuskan untuk duduk di kursi bambu depan rumahnya. Menunggu.
Susan mulai ribut, ia tidak suka menunggu.
“Sebenarnya kita mau ketemu siapa, Kak?”
“Ibu-ibu yang tinggal di rumah ini. Dia biasanya duduk menunggu putranya di tepi pantai, tapi beberapa hari ini kakak tidak melihatnya. Karena itu kakak ingin mengunjunginya.”
Susan nampak berpikir, keningnya berkerut, “Maksud kakak, nek Imah yang tinggal di rumah ini?”
Wajahku mendadak cerah, ternyata Susan mengenalnya, “Iya,,,kakak ingin menemuinya. Susan tau di mana dia?”
“Emmm,,,” Susan nampak menahan kata-katanya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Nek Imah sudah meninggal beberapa hari yang lalu. Para nelayan menemukan nek Imah tidur di atas batu besar di tepi pantai. Setelah dicek ternyata nek Imah sudah meninggal.”
Ada sesuatu yang menohok hatiku. Ya Rabb,,, kenapa engkau mengambilnya sebelum ia sempat bertemu putra yang dinanti-nantikannya. Butiran bening merembesi pipiku.
“Lalu putranya?” tanyaku kemudian.
Susan menunjuk ke arah pantai, “Bang Aga selalu merenung di batu besar itu sejak kematian nek Imah.”
Tanpa pikir panjang, aku segera menuju ke arah pantai. Susan benar, aku melihat seorang lelaki duduk memeluk lutut di atas batu besar tempat nek Imah biasa menunggu putranya. Lirih kudengar lelaki itu bergumam, seperti berkata pada dirinya sendiri.
“Kalau saja aku tidak terlalu larut dengan kesibukan berlayar dan menyempatkan waktu sedikit saja untuk mengunjungi Emak, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. Setidaknya aku bisa menemani Emak di saat-saat terakhir,,,” lelaki itu terisak.
Aku terenyuh. Seakan ada tetesan embun yang membasahi hatiku. Bayangan ibu berkelebatan di kepalaku. Apa yang dirasakan nek Imah bisa jadi sama dengan yang dirasakan ibu. Selama ini aku terlalu mementingkan berbagai amanah yang menguras waktuku dengan mengesampingkan kewajibanku sebagai anak untuk birrul walidain.
Tiba-tiba ada kerinduan yang begitu dalam pada sosok yang telah melahirkanku. Detik itu juga aku ingin berlari menemui ibu, mencium tangannya dan meminta maaf atas kelalaianku. Ridhollahu fii ridholwaalidaini, kenapa aku meragukan janjiMu Ya Rabb,,,  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar