30 Jun 2012

Adira dan Hujan

Adira berlari-lari kecil. Menerobos tetesan air hujan yang membentuk bintik-bintik kecil di seragam merah putih. Sesekali cipratan air mengotori ujung kakinya. Yah, sepatunya sudah dilepas sejak dari sekolah. Ia kini memanggul tas berbalut kresek merah sambil terus berusaha menjangkau halaman rumah secepat mungkin. Bunda menunggu di pelataran rumah dengan wajah cemas. Benar saja, begitu melihat Adira muncul di ujung gang, bunda segera berlari menjemput putrinya dengan sebuah payung.

“Kan bunda sudah bilang, bawa payung ke sekolah, siapa tahu hari ini hujan. Ayah sedang ke kantor, tidak bisa menjemput Adira.” bunda langsung memberondong Adira dengan omelan panjang. Adira Cuma tersenyum nakal.
“Bunda khawatir kalau sakit Adira kambuh lagi. Dokter sudah bilang Adira nggak boleh hujan-hujanan. Masih saja bandel.”
“Ah, Bunda. Adira nggak pa-pa kok. Tuh, batuk Adira nggak keluar. Nafasnya juga nggak sesak. Adira kan juga pengen hujan-hujanan kayak teman-teman.” Sahut Adira merajuk.
Bunda hanya menatap putrinya pasrah. Bunda faham betul apa yang dirasakan Adira. Sejak Usia 5 tahun, Adira divonis mengidap penyakit bronchitis dan asma. Sejak saat itu dokter melarang Adira hujan-hujanan.
“Adira alergi dingin dan debu, Bunda. Jadi Adira nggak boleh main hujan-hujanan lagi. Sebisa mungkin Adira juga harus menghindari debu supaya bronchitis dan asmanya tidak kambuh lagi.” Begitu kata dokter saat itu.
Hari masih gelap ketika Adira membuka mata pagi itu. Ia merasakan pening di kepalanya. Tenggorokannya sakit dan seperti ada yang menekan dadanya hingga ia kesulitan menarik nafas.
“Bunda,,,” teriak Adira hampir menangis.
Bunda datang tergopoh. Melihat Adira yang duduk di ranjangnya dengan mata berkaca-kaca, Bunda segera faham. Bunda menyentuh kening Adira, merasakan panas yang menjalar ke ujung jarinya.
“Ayah!!  Ayah!!” Bunda berteriak panik.
Ayah berlari dari arah ruang tamu membawa lembaran Koran. Sedetik kemudian Adira sudah terbaring di ranjang Rumah Sakit. Dokter memeriksa tekanan darahnya, menyentuh kening dan merasakan detak jantungnya lewat stetoskop.
“Adira nggak usah sekolah dulu yah. Istirahat di rumah. Nanti dokter kasih obat. Diminum obatnya biar cepat sembuh.”
“Adira nggak mau nurut, Dokter. Sudah dibilang nggak boleh hujan-hujanan masih saja bandel.” Lapor Bunda.
Adira cemberut.
Dokter tertawa,”mulai sekarang Adira harus nurut Bunda, ya. Kalau sakit kan Adira sendiri yang rugi. Nggak bisa sekolah, nggak bisa main sama teman-teman. Janji yah nggak boleh hujan-hujanan lagi?”
Adira mengangguk. Masih dengan tampang cemberut.
Sepertinya langit sedang hobi menggoda Adira. Sejak siang, hujan turun dengan deras.  Adira hanya bisa memandangi teman-temannya yang berlarian kesana kemari diantara air hujan. Sesekali terdengar tawa mereka. Nina dan Leli bahkan melambai-lambaikan tangannya, memanggil Adira yang mengintip lewat jendela rumah. Adira hanya menggeleng pelan. Diam-diam ia menyesali kondisinya. Kenapa ia harus mengidap bronchitis dan asma. Kalau tidak kan dia bisa bermain hujan bersama teman-temannya.
“Allah memberi sakit pada Adira karena Allah sayang pada Adira. Ingat kan, Allah menguji hambanya yang beriman. Seperti Allah menguji nabi Ayyub dengan sakit yang sangat parah. Sampai beliau ditinggalkan oleh keluarganya. Allah menjanjikan surga kepada hamba-hambaNya yang sabar menghadapi ujian. Adira mau masuk surga kan?” begitu jawab Bunda tiap kali Adira mengeluh tentang sakitnya.
“Tapi kenapa cuma Adira? Kenapa bukan Nina atau Leli?” keluh Adira
Bunda tersenyum, “Allah memberikan ujian kepada hambaNya dengan cara yang berbeda. Tidak perlu mempermasalahkan orang lain, yang terpenting bagaimana kita bisa sabar menghadapi ujian yang Allah berikan kepada kita.”
Adira sontak menutup matanya ketika sebuah cahaya terang membelah langit. Diikuti suara bergemuruh yang menggetarkan kaca jendela. Ia berlari menuju kamar. Sembunyi di bawah selimut sambil memeluk guling. Meski Adira suka hujan, tapi dia sangat takut pada kilat dan petir. Suaranya menyeramkan, seperti ada raksasa di atas langit.
Hari ini ayah mengantarnya pergi sekolah. Sudah tiga hari Adira tidak masuk sekolah. Sakitnya sudah sembuh. Nafasnya tidak lagi sesak. Ia masuk kelas dengan wajah ceria.
Bu guru masuk kelas. Ada yang aneh. Wajah beliau terlihat sedih.
“Anak-anak, Ibu akan mengabarkan berita sedih. Teman kalian Nina dan Leli sekarang dirawat di rumah sakit. Kemarin, mereka tertimpa pohon tumbang saat hujan-hujanan. Nina mengalami patah kaki sedangkan Leli mengalami benturan di kepalanya.”
Adira baru sadar kalau kedua teman akrabnya tidak ada di kelas. Biasanya mereka duduk di bangku belakangnya. Kini tempat itu kosong.
“Hari ini kita akan sama-sama menjenguk Nina dan Leli di rumah sakit. Kita harus mendoakan mereka supaya cepat sembuh dan bisa belajar bersama lagi.” Lanjut Bu Guru.
Bunda benar, Allah memberikan ujian kepada hambaNya dengan cara yang berbeda. Diam-diam Adira bersyukur, seandainya Allah tidak memberikan sakit kepadanya. Mungkin ia akan main hujan-hujanan dan bisa jadi ia mengalami kejadian yang sama dengan Nina dan Leli. Terima kasih Allah,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar