16 Mei 2017

Tentang Ukhuwah



Kutitipkan salam pada rindu yang diam-diam merayap
Rindu yang tak pernah terucap, tak pernah tersampaikan
Kutitipkan salam pada lirih doa di kesunyian
Doa yang kuharap menyentuh langit, memantul pada hati yang dikasih
Sebab caraku berukhuwah tak berlisan
Caraku mengasihi tak harus menuai kasih
Pada diam, pada sunyi... kubisikkan namamu pada Rabbku...

Persahabatan, persaudaraan, entah bagaimana bisa menjadi perasaan yang begitu emosional. Saya ingat seorang teman yang cerita kalau dia pernah menangis karena merasa kakak yang selama ini perhatian padanya jadi lebih perhatian ke orang lain. Menjadi biasa jika ini adalah kakak kandungnya, tapi ini kakak ketemu gede. Seseorang yang lebih tua, akrab, lalu dianggap kakak. Sering juga dulu waktu di pesantren denger konflik kakak adek dari anak-anak yang tinggal di pondok. Lagi-lagi ini kakak adek ketemu gede. Saya nggak habis pikir bagaimana bisa seseorang cemburu kepada orang yang dianggap kakak/adek itu. Sedalam apa sebenarnya perasaan yang tumbuh diantara mereka.


Sampai detik ini saya belum pernah merasakan hal seperti itu. Saya punya banyak sahabat, beberapa sangat dekat. Tapi saya tidak pernah merasa keberatan jika teman saya dekat atau bersahabat akrab dengan orang lain selain saya. Toh, saya juga punya banyak sahabat yang lain. Kadang saya merasa ini karena karakter. Ada orang yang memang membagi rasa kasih sayang yang sangat dalam dengan orang-orang terdekatnya. Sehingga sangat wajar jika ia memiliki standar perhatian yang ingin ia dapatkan. Mungkin juga karena saya memang belum pernah benar-benar menyayangi sahabat saya. Sehingga saya tidak bisa memahami perasaan itu. Ah iya.. saya lebih sering galak kepada mereka.. haha

Tapi, persahabatan, persaudaraan yang teramat dalam seperti itu memang benar-benar ada. Mendengarnya saja membuat hati tersentuh. Sebut saja persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshor. Dua kelompok yang belum kenal sebelumnya. Dipersaudarakan oleh kesamaan iman. Mengubah aku menjadi kita, rumahku rumahmu, hartaku hartamu, sakitmu sakitku, kehormatanmu kehormatanku. Ukhuwah ini yang membuat seseorang rela mengorbankan apapun miliknya untuk saudaranya.

Saya teringat sebuah kisah tentang ukhuwah yang begitu menyayat hati. Diriwayatkan dalam perang Yarmuk, ada tiga sahabat yang terluka dan dalam keadaan kritis, yaitu Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabiáh, dan Ikrimah bin Abu jahal. Saat itu Al-Harits merasa haus dan meminta minum. Sahabat lain segera mengambilkan minum untuknya. Saat air minum itu didekatkan ke mulutnya, ia mengetahui bahwa Ikrimah sedang dalam kondisi yang sama dengan dirinya. Maka iapun meminta si pembawa air agar memberikan air itu kepada Ikrimah lebih dulu. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ikrimah, dia melihat Ayyasy menoleh kepadanya. Ikrimah yang tahu kondisi Ayyasy tidak jauh beda dengan dirinya meminta agar air itu diberikan kepada Ayyash terlebih dahulu. Si pembawa airpun berlari ke arah Ayyasy. Namun sampai disana ternyata Ayyash telah wafat. Iapun kembali ke Ikrimah, sampai ditempat Ikrimah, ternyata dia juga telah wafat. Si pembawa airpun kembali berlari ke arah Al-Harits, namun diapun telah wafat. Ya Rabb... cinta macam apa yang membuat orang rela mengorbankan nyawanya demi saudaranya. Betapa iman telah menyatukan hati mereka.

Ustadz Hanan pernah menyebut Itsar, yang secara umum berarti mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Dalam beberapa tulisan, Itsar disebutkan sebagai tingkatan tertinggi ukhuwah. Hal ini merujuk pada hadits “Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim). Rasulullah sendiri dikenal sangat mencintai para sahabat. Beliau sangat perhatian terhadap hal-hal detail tentang sahabat-sahabatnya. Tidak heran jika semua sahabat merasa dirinya adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Sebab Rasulullah selalu memperlakukan setiap orang dengan cara yang istimewa.

Kisah cinta yang sampai saat ini masih selalu membuat saya meneteskan airmata setiap membaca atau mendengarnya adalah kisah Bilal bin Rabbah. Seorang budak berkulit hitam yang di awal-awal Islam menjalani siksa teramat berat dari majikannya. Ia memegang teguh keimanannya hingga Abu Bakar memerdekakannya. Bilal kemudian dipercaya Rasulullah sebagai muadzin yang mengumandangkan adzan setiap kali tiba waktu sholat. Suaranya yang merdu dan lantang menggiring orang-orang meninggalkan semua aktivitas yang dilakukannya. Berbondong-bondong menjalankan sholat secara berjamaáh. Ketika Rasulullah kemudian wafat, Bilal merasa sangat terpukul dan kehilangan. Ia tidak mampu lagi mengumandangkan adzan. Dengan kesedihan mendalam, dia berkata kepada Khalifah Abu Bakar, “Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.” Dia meminta izin kepada khalifah Abu Bakar untuk meninggalkan Madinah.

Setelah sekian lama Bilal meninggalkan madinah, suatu hari ia melihat Rasulullah dalam mimpinya. Rasulullah berkata, “ Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku?Mengapa sampai seperti ini?” Bilal pun terbangun dari mimpinya dan tanpa pikir panjang ia segera menyiapkan dirinya untuk kembali ke madinah. Sesampai disana Bilal mengunjungi makam Rasulullah. Ia juga bertemu dengan Hasan dan Husein, cucu Rasulullah yang memintanya untuk mengumandangkan adzan. Umar bin Khattab, yang menjabat sebagai khalifah saat itu juga mendorongnya. Akhirnya saat sholat tiba, Bilal pun mengumandangkan adzan. Seketika, aktivitas kota Madinah terhenti mendengar suara Bilal. Mereka berduyun-duyun menuju masjid Nabawi. Kenangan tentang Rasulullah kembali muncul dalam benak setiap orang. Keharuan menyeruak. Sampai pada kalimat “ Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, seisi kota madinah pecah oleh suara tangis. Bilal tersedu dalam kerinduan. Ia tak mampu lagi melanjutkan adzannya.

Itulah cinta, cinta yang lahir dari keimanan. Ukhuwah yang tiada duanya.

Perpisahan selalu menjadi kisah pilu dalam sebuah ukhuwah. Meski saya tak pernah merasakan apa itu cemburu dalam persahabatan. Tapi saya berkali-kali merasa perih oleh perpisahan. Berpisah dengan sahabat-sahabat segeng MTs yang mayoritas pindah sekolah. Berpisah dengan sahabat di MA karena harus melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda. Berpisah dengan sahabat-sahabat di ITS yang selama 4 tahun berjuang bersama. Dan kini, diujung perpisahan dengan sahabat-sahabat di ITB yang sudah seperti saudara sendiri.

Saya memang tak pandai mengungkapkan kasih sayang. Saya lebih sering bersikap cuek, jahil, bahkan galak kepada mereka. Tapi sungguh, saya menyayangi mereka sepenuh hati. Saya memang selalu tersenyum, tertawa renyah saat bersama mereka. Tapi saya pun sering menangis sendiri dalam kerinduan. Seperti saat ini, ketika kata demi kata saya tuliskan dengan sesak di dada. Saya menyayangi mereka Ya Rabb.. dan saya ingin belajar itsar dari para sahabat. Maka ajari saya untuk mengalah, ajari saya untuk ikhlas sebagaimana mereka selalu memaklumi segala kekurangan saya. Saya menyayangi mereka... maka izinkan mereka bahagia, Ya Ilahii...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar