9 Feb 2017

Surat untuk Ibu, Bapak...







9 Februari 2017

Assalamuálaikum wr. wb.

Ibu.. Bapak.. hari ini izinkan putrimu menuliskan sebuah surat. Surat yang ditulis di tengah hiruk pikuk aktifitas kampus yang penuh aura ilmu. Putrimu ini tengah menyendiri. Di sebuah ruang tertutup tempat mahasiswa berdiskusi. Ruang ini sering kosong. Dan itu yang aku cari, duduk dalam sepi, tenggelam berkutat dengan tugas dan hobi. Sebuah kursi putar menemani. Terkadang sekelebat angan menghampiri. Tentang sebuah masa di ruang pribadi. Aku selalu ingat mimpi ibu. Melihatku berangkat kerja dengan seragam rapi, menaiki motor metic hasil keringat sendiri. Ah ibu... sesederhana itu mimpimu. Semoga aku mampu mengabulkannya suatu saat.

Ibu.. bapak.. salah satu hal terbaik yang Allah berikan kepadaku adalah terlahir sebagai putri kalian. Sepasang orang tua yang hebat dengan ketidakhebatannya. Jika aku harus menilai kebahagiaan dengan harta, maka seharusnya aku mengutuk terlahir dari seorang bapak pekerja serabutan dan ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tapi nyatanya kehidupan sederhana tak pernah menyurutkan senyum di bibirku. Justru itulah kekuatanku, kebangganku.

Ibu megajariku tentang sebuah keikhlasan, tentang penerimaan atas apapun hasil yang diberikan Allah terhadap ikhtiar kita. Jika air mataku menetes melihat serabut putih yang berlomba memenuhi kepala ibu, merasakan kulit keriput yang begitu lemah, maka sungguh itu bukan air mata penyesalan. Itu air mata bangga, air mata penghormatan. Apalah yang aku sesalkan dari seorang ibu yang tetap tersenyum lembut meski tergeletak di atas ranjang. Yang menyembunyikan tangisnya di sela-sela jemari tangan. Tak ingin ada satu orangpun menyadari gejolak rasa yang ia pendam. Ibu yang begitu adil membagi rejeki apapun yang mampir ke rumah kami. Semua harus terbagi rata, semua harus merasa. Bahkan jika harus membagi bakpia menjadi lima atau menunggu sekian lama hanya agar bisa makan bersama-sama. Ibu yang tak mengijinkan bentuk kemubadziran apapun. Makan harus habis, tak ada sisa kecuali kau mau mengolahnya kembali. Ibu yang berkali lipat lebih khawatir saat kami khawatir, berkali lipat lebih sedih saat kami sedih, berkali lipat lebih sakit saat kami sakit. Ibu, ibuku yang selalu mengangguk mantap saat aku bercerita panjang tentang cita-cita. Tentang harapan di masa depan, lalu berucap lembut, “Raih mimpimu, berusahalah. Ibu hanya bisa mendoakan.” Ibu tahu betul hanya itu yang kubutuhkan, restumu, dukunganmu, terlebih doamu.

Bapak mengajariku tentang kerja keras, tentang ikhtiar dan doa. Jika air mataku menetes melihat kulit hitam legam bapak yang tak henti terbakar matahari, melihat tangan kasar bapak yang dicacah alat dan material bangunan, maka sungguh itu bukan air mata penyesalan. Itu air mata bangga, air mata penghormatan. Apalah yang aku sesalkan dari sosok yang tetap tertawa menggodaku bahkan saat lelah menggelayuti sekujur tubuhnya. Seseorang yang tak mau diam dan selalu mencari-cari pekerjaan meski mengeluh maag menggerogoti lambungnya, demam melemahkan persendiannya. Bapak yang tegas saat putra putrinya melakukan kesalahan. Tapi berdiri di barisan terdepan saat mereka menghadapi masalah. Bapak yang begitu tinggi gengsinya tapi tak pernah malu bersikap dan berucap kasih sayang pada anak dan istrinya. Bapak, bapakku yang pemberani namun lembut hatinya. Tak bisa kubayangkan seberapa luas kasih sayang yang kau bentangkan pada kami. Secuilpun aku tak berani membandingkannya dengan kasihku.

Ibu.. bapak.. terimakasih telah mengantarkanku sampai sejauh ini. Aku tak butuh materi. Sungguh, Allah telah menjamin rezeki setiap hamba yang terlahir di dunia. Aku tak butuh warisan derajat tinggi di hadapan masyarakat. Sebab akulah yang akan mengangkat derajat kalian. Akan kuumumkan kepada dunia, akulah putri tukang bangunan, tukang becak, tukang sol sepatu keliling, ibu rumah tangga perkasa yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Menjelajah negeri. Doakan putrimu agar menjadi wanita sholihah, agar doaku mampu menjelma amal jariyah. Agar tak putus tabungan amal kalian di dunia.

Ibu, bapak... sehatlah selalu. Putrimu ini butuh waktu lebih lama untuk mengusahakan kebahagiaan kalian. Mengantar kalian menuju Baitullah. Meraih tingkatan tertinggi rukun Islam. Ibu... jangan bekerja terlalu keras, istirahatlah. Jangan berpikir dan merasa terlalu dalam, tenangkan hatimu. Kami baik-baik saja. Bapak... jangan bekerja terlalu keras. Berikan hak tubuhmu untuk beristirahat. Tak apa.. sudah cukup engkau bekerja di masa muda. Biarkan kami mengusahakan rezeki kami sendiri.

Ya Allah.. hamba bukan pribadi yang baik, apalagi ahli ibadah. Masih jauh. Masih sangat jauh. Tapi izinkan hamba meminta. Sebagai seorang anak yang ditumbuhkan dengan cinta. Lindungi, sayangi, cintai ibu dan bapak hamba. Ampuni dosa-dosanya. Eratkan kasih sayang di antara kami. Dan izinkan kami tetap bersama hingga di syurga. Aamiin..

Putrimu yang manja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar