8 Feb 2017

Menyibak Kenang S1




Mumpung ada waktu kosong dan tetiba rindu masa-masa S1. Rasanya perlu juga sekali-kali mengulang kembali masa-masa S1 lewat rentetan kata-kata. Semoga ada hikmah yang bisa diambil orang lain yang membaca.

S1 tahun 2008, artinya aku berusia 18 tahun. Usia yang matang menurutku saat itu, tapi setelah 9 tahun berlalu aku bisa katakan itu usia yang masih sangat labil. Begitupun segala sikap dan tindakan yang kulakukan. Dengan kacamata seorang wanita berusia hampir 27 tahun, aku saat itu masih kanak-kanak. Yah, meskipun sampai sekarang aku juga belum bisa dibilang dewasa.

Menceritakan kisah selama 4 tahun mungkin akan membutuhkan ribuan lembar. Maka pada tulisanku kali ini aku ingin lebih fokus pada hal-hal yang terbersit dalam ingatanku sekarang.
Masih seperti sekarang, aku dulu adalah seorang melankolis-sanguinis. Hanya saja, sisi melankolis jauh lebih besar daripada sanguinis. Perasa, teratur, terencana, mengayomi, dan tentu saja gampang baper adalah gambaran diriku yang lebih dominan. Maka, dalam kurun waktu itu, aku beberapa kali mengambil keputusan besar sebagai hasil perencanaanku. Aku adalah seorang mahasiswa study oriented sekaligus aktivis. Bagaimana bisa? Nyatanya bisa. Hahaha

Aku memang hobi berorganisasi, senang sekali mengikuti berbagai kegiatan, terutama yang berbentuk pelatihan. Namun di sisi lain, aku orang yang strict terhadap masalah akademik. Jika ada benturan antara organisasi dan akademik, maka yang menang adalah akademik.
Tahun kedua perkuliahan, aku tergabung sebagai bagian dari steering committee (SC) sebuah kegiatan besar di kampus. Kegiatan bertajuk Ramadhan di Kampus (RDK) ini diadakan rutin setiap tahun oleh LDK kampus. Bukan main-main, Acara ini bertanggungjawab atas semua kegiatan persiapan, saat, dan pasca Ramadhan. Sasarannya bukan hanya mahasiswa, tapi juga dosen, masyarakat sekitar, bahkan secara tidak langsung nasional. Dana yang dibutuhkan ratusan juta, pembicara yang dibutuhkan puluhan dari yang level dosen, ustadz lokal, hingga nasional. Tidak tergambar betapa beratnya amanah itu. Persiapan sekitar 6 bulan sebelumnya dan amanah masih berlanjut beberapa bulan pasca Ramadhan. Singkat cerita, semester itu IPku jatuh. Drastis.

Nah, disinilah study orientedku terusik. Mimpiku sejak dulu adalah lulus 3.5 tahun dengan IP cumlude. Entah siapa yang mempengaruhi pemikiranku, hingga aku membuat standar keberhasilan S1 seperti itu. Nyatanya, IP tinggi, lulus cepat tidak terlalu mempengaruhi keberhasilanku di masa depan. Jadi dek, kalau kamu sudah berhasil masuk kampus favoritmu. Belajarlah yang sungguh-sungguh, pelajari semua yang bisa kamu pelajari. Gunakan semua sarana dan peluang yang ada untuk meningkatkan kualitas diri. Jalin relasi seluas-luasnya mumpung ada kesempatan. Jangan terpengaruh dengan pandangan masyarakat tentang IP tinggi, lulus cepat. Yang kamu butuhkan hanyalah IP cukup, cukup bagus, hahaha dan lulus tepat waktu. Lebih penting lagi adalah tanggungjawabmu terhadap IP itu, tanggungjawabmu sebagai alumni perguruan tinggi favorit, tanggungjawabmu terhadap gelar yang kau dapat.

Kembali ke kisahku. Sempat shock dan desperate, akhirnya aku mengatur ulang orientasiku. Aku membuat sebuah mapping hidup. Saat itu aku duduk di semester 5. Aktif di 4 organisasi dengan jabatan sebagai sekretaris departemen di 2 organisasi, sekretaris divisi, dan staf. Tidak mungkin lari dari amanah dan tentu tidak boleh mengabaikan akademik. Dengan berbagai pertimbangan kuputuskan untuk menyelesaikan amanah organisasi hingga semester 6, dan melepas semuanya di awal semester 7. Meski dengan aneka drama, mulai dari menolak amanah sebagai BPH LDK, terancam gagal lulus karena ada mata kuliah wajib yang baru bisa diambil semester 8, dan masalah hati di sepanjang semester 7, aku bisa memenuhi mimpiku.

Lagi-lagi dalam kacamata wanita usia hampir 27 tahun, keputusanku saat itu benar. Bagaimanapun juga amanah utama yang kuemban saat itu sebagai penerima beasiswa adalah menjadi mahasiswa berprestasi. Namun ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Saat itu, aku terlalu terpaku pada nilai yang tinggi tanpa mengindahkan seberapa dalam pemahamanku akan ilmu yang kupelajari. Aku tidak punya titik tujuan, ilmu apa yang ingin kukuasai dan bagaimana aku membutuhkannnya di masa depan. Aku hanya belajar dan belajar. Lebih parah lagi, demi lulus 3.5 tahun aku mengambil persis 144 sks. Meninggalkan kesempatan mengambil berbagai mata kuliah menarik yang tentu meningkatkan kemampuanku. Well, aku wisuda 5 hari setelah ulang tahunku yang ke 22.

Another story, tahun kedua perkuliahan aku pernah daftar sebagai pemandu. Pemandu itu semacam trainer di sebuah pelatihan bertingkat untuk mahasiswa. Menjadi pemandu itu keren. Itu kepercayaan yang beredar saat itu. Hingga saat ini aku juga mengakuinya. Tahun itu aku gagal. Nggak lulus seleksi. Maka pada tahun ketiga aku kembali mendaftar, tetap bertekad ingin menjadi pemandu meskipun saat itu pesaingnya kebanyakan junior. Kali ini aku berhasil lulus seleksi. Lucunya, entah mental macam apa yang kumiliki saat itu, aku begitu malu untuk sekedar melihat papan pengumuman. Menunggu kampus sepi, lalu diam-diam ke kantor BEM fakultas untuk melihat namaku tertulis diantara para peserta yang lulus. Hanya beberapa detik lalu aku pergi. Abai dengan segala info yang menyertai pengumuman itu.

Hingga suatu malam, aku bertemu temanku di masjid kampus, Manarul Ilmi. Dia mengenakan kemeja rapi, lengkap dengan sepatu fantovel. Kami menyebutnya kostum standar pelatihan. Heran melihatku bersantai di masjid, dia menegurku. Ternyata malam itu adalah technical meeting pelatihan pemandu. Dengan cuek aku segera menuju tempat technical meeting. Sampai di sana, panitia yang juga sama rapinya dengan temanku mencegat langkahku. Katanya aku tidak bisa ikut technical meeting karena tidak mengenakan kostum sesuai aturan. Aku diminta pulang dan berganti pakaian, diberi waktu sekian menit. Aku menurut saja. Di tengah jalan, rasa malas menyergapku. Tidak mungkin rasanya jika harus kembali kesana dalam waktu beberapa menit. Singkat cerita aku lalu meminta izin kepada ketua panitia untuk tidak ikut technical meeting. Problem solved. Pikirku saat itu.

Keesokan harinya, aku baru mendapat balasan dari ketua panitia yang mengatakan bahwa technical meeting bersifat wajib dan peserta yang tidak mengikutinya dengan alasan apapun dinyatakan gugur. Huwaaa... saat itu penyesalan demi penyesalan memenuhi dadaku. Kenapa harus malu melihat pengumuman? Kenapa tidak jeli membaca setiap info di pengumuman? Kenapa tidak balik saja mengikuti technical meeting? Dan siang itu... tanpa permisi setetes demi setetes air mataku jatuh. Tidak ada harapan lagi. Tahun depan aku sudah harus lulus. Jika bukan karena dia yang terus menggodaku hingga aku mampu tersenyum, mungkin seharian itu aku tidak akan berhenti menangis. Baiklah, jangan tanyakan siapa dia. Ceritanya akan panjang. Hihihi

Jadi apa hikmah kisah itu? Yah, simpulkan sendiri lah...

Meski gagal sebagai pemandu. Ternyata Allah tetap mengabulkan keinginanku. Lulus dari kuliah, aku beberapa kali menjadi pemateri di acara orientasi siswa dan mahasiswa di pesantren tempatku mengabdi. Yang ini malah dapat fee.. hehe

Kenangan apa lagi yah yang ingin kutuliskan...

Sudah cukup rasanya untuk saat ini. Sebagai penutup saja...
“Jangan mudah menyalahartikan kebaikan lawan jenis. Melengkapi wanita yang tercipta sebagai makhluk lembut dan butuh sandaran, pria juga tercipta dengan karakter mengayomi dan melindungi. Tidak melulu karena mereka punya rasa istimewa. Mereka hanya memang tercipta demikian.”

Haha... kalimat terakhir ini disimpulkan dari pengalaman tahun terakhir S1. Masa-masa berat dimana harus menghabiskan malam dengan tugas akhir sekaligus masalah hati. Jika ingat masa itu, ah, bagaimana bisa aku mengetik, mengotak-atik Matlab dengan mata beranak sungai. Selamat berbahagia untuk kita semua. Masa lalu yang membentuk kita saat ini. Jika itu berat, maka semoga menguatkan. Jika itu kelam, semoga memicu lahirnya cahaya. Dan jika itu berbunga, seharusnya saat ini kita memanen buahnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar