1 Nov 2012

Dunia Gelap Tukang Kerupuk


Hanya orang bodoh yang mengatakan dirinya tidak memiliki cukup kemampuan untuk bekerja. Hanya orang malas yang mengatakan fisiknya terlalu lemah untuk mencari nafkah. Tidakkah kita melihat bagaimana kondisi orang-orang di sekitar kita? Mereka, dengan segala keterbatasan yang dimiliki melakukan apapun untuk bertahan hidup. Ini bukan soal hasil, tapi seberapa besar usaha yang kita lakukan untuk mencapai hasil tersebut. Kaya itu relative. Boleh saja mereka menyombongkan harta yang melimpah, rumah mewah, perhiasan gemerlap, mobil berjejer, tapi sayangnya ada orang-orang yang justru lebih kaya tanpa itu semua. Lebih bahagia hidupnya, lebih sehat jasmaninya, meski harus melakukan pekerjaan yang jauh lebih berat. Sekali lagi, ini bukan soal hasil tapi usaha.

Aku bertemu dengan salah seorang diantara para pejuang itu. Seseorang yang dengan segala keterbatasannya tidak termenung menyesali nasib. Beliau bergerak, bekerja. Jika kita mengatakan malam terlalu gelap untuk melihat dunia? lantas apa yang dirasakan olehnya? Seorang bapak penjual kerupuk yang bahkan tidak pernah melihat terangnya sinar mentari. Baginya setiap saat adalah malam, gelap. Pertama kali bertemu dengannya saat aku sedang menyusuri stand-stand pasar kaget di depan kampus 2 UIN Jakarta. Bapak itu memanggul bungkusan kerupuk yang diuntai dengan sebuah tali, sementara tangan kanannya memegang tongkat yang menggantikan peran matanya melihat jalan. Saat itu aku hanya diam.
Beberapa hari kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Kali ini kami berjalan dari arah yang berbeda. Bersama teman-teman, aku akhirnya membeli kerupuk dari bapak itu. Kami harus membayar 15ribu untuk tiga bungkus kerupuk. Awalnya kami ragu akan membayar dengan uang 20ribuan. Yah, dengan kondisi matanya yang seperti itu, wajar saja jika kami ragu. Namun, tidak disangka, ketika beliau menyentuh lembaran uang tersebut, beliau berkata, “Uangnya 20ribuan yah?” sontak kami menjawab , ”ya” dengan ekspresi takjub. Lebih takjub lagi ketika beliau kemudian mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberikannya pada kami.
Rabbi,, hidup ini kadang terlalu kejam. Meski mereka mampu bertahan dalam keterbatasan, namun tidakkah mereka berhak mendapatkan apa yang dimiliki orang lain? Miris menyaksikan semua itu terjadi tepat di depan mataku, dan aku hanya bisa diam. Doing nothing. Semua ada hikmahnya, begitu apa yang kudengar. Mungkin engkau menciptakan makhluk hebat seperti mereka agar menjadi cambuk bagi kami, orang-orang yang kufur akan nikmatMu.
Ah, tiba-tiba aku jadi teringat bapak. Tidak ada orang yang lebih hebat dimataku selain beliau. Seorang pekerja keras, seakan lelah adalah hal yang tabu baginya. Beliau ada kapanpun orang lain membutuhkannya. Jangan tanya untuk kami, keluarganya. Beliau bahkan menjadi ayah bagi semua anak-anak, saudara bagi semua orang.
Lantas apa yang bisa kulakukan untuk menjadi seperti mereka, orang-orang hebat itu. Aku hanya mengeluh dan mengeluh. Meski dunia senantiasa berbaik hati padaku. Atau mungkin karena itu aku jadi manja. Haruskah dunia lebih kejam padaku? Agar aku menjadi orang yang kuat, orang yang berprinsip, berani dalam melangkah. Oh, ini dia jawaban atas kegalauanku. Aku terlalu menuntut hal positif, takut pada semua yang berbau negatif. Bersiaplah gadis, mungkin kau harus jatuh sejatuh-jatuhnya agar tau nikmatnya berdiri tegak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar