1 Nov 2012

Integrasi Sains-Qur'an


Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Rabo, 31 Oktober 2012 aku mengikuti kuliah tamu dengan pembicara bapak T. Djamaluddin, seorang ahli astronomi yang beker ja di LAPAN sekaligus sebagai dosen ITB. Beliau menamatkan S1 di ITB kemudian melanjutkan S2 dan S3 d Kyoto University, Jepang. Mendengar latar belakang pendidikannya saja sudah membuatku sangat tertarik dengan kuliah tamu ini. Bayangkan saja, Kyoto University is my dream. Menjadi bagian dari para scientist di sana adalah sebagian dari misiku menuju program “Prof 35”. Lebih tertarik lagi ketika mendengar judul kuliah tamu itu adalah “Integrasi Sains-Qur’an dalam Meninjau Penciptaan dan Akhir Semesa”. Wow,, it’s great, I’ve been interested on this field early,, and I wanna know more about it. So, jangan Tanya bagaimana aku berusaha menangkap tiap detail informasi yang beliau sampaikan. Berikut akan aku ulas sebagian kecil dari materi yang beliau sampaikan.

Diawal materi beliau menekankan dua hal yang seringkali menjadi pola pikir manusia namun seharusnya dihindari, Pertama, menganggap semua sains di alam ini pasti ada di Al-Qur’an, sehingga cenderung menghubung-hubungkan penemuan sains dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, secara ekstrim menganggap bahwa sains dan Al-Qur’an adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Sehingga tidak mau menerima kenyataan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan sains jauh sebelum sains itu sendiri ditemukan oleh manusia. Beliau menyebutkan dua sifat yang berbeda dari Sains dan Al-Qur’an. Sains memiliki sifat relative dan kebenarannya senantiasa berubah dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya penelitian manusia. Sedangkan Al-Qur’an bersifat mutlaq, tidak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’an yang diragukan kebenarannya. Jadi, jika memang ditemukan kesamaan antara Al-Qur’an dan sains maka itu hanya sebatas persamaan tafsir, dimana baik tafsir Al-Qur’an maupun tafsir sains sama-sama bersifat relatif. Secara sederhana dapat dikatakan, Al-Qur’an memang mengandung sains, tapi tidak semua sains ada di dalam Al-Qur’an. Karena sains adalah hasil buatan manusia, yang kebenarannya relatif, sementara Al-Qur’an buatan Allah SWT yang kebenarannya mutlaq. Al-Qur’an mengandung the Real Sains, yang hanya akan diketahui oleh manusia jika Allah mengijinkan.
Pak Djamaluddin menyebutkan sebuah contoh gambaran langit yang diberikan dalam Al-Qur’an (QS. 67:3, 31:27, 71:15) yang menyebutkan langit bertingkat-tingkat. Ada pula yang menyebutkan langit memiliki tujuh tingkat. Pada mulanya scientist sepakat tujuh tingkat langit adalah tujuh lapisan atmosfer bumi, yaitu  toposfer, stetosfer dst. Namun kemudian pendapat itu mulai diragukan, apa benar yang dinamakan langit hanyalah lapisan atmosfer di atas bumi? Lantas apakah ruang angkasa di atas atmosfer yang menjadi tempat bintang-bintang dan benda-benda langit yang lain bukan merupakan bagian dari langit? Pendapat itu kemudian berkembang menjadi definisi baru, bahwasannya langit adalah seluruh alam semesta lengkap dengan berbagai galaksi dan bintang-bintang yang mengelilinginya. Hal ini senada dengan tafsir Al-Qur’an yang menyatakan bahwa angka tujuh dalam Al-Qur’an merujuk pada sebuah nilai yang tak terhingga, hal ini juga dapat dilihat dari perumpamaan pahala seseorang yang diibaratkan tujuh helai padi. Al-Qur’an seringkali menggunakan angka tujuh untuk menunjukkan suatu kelipatan.
Lebih jauh lagi beliau menjelaskan bahwa saat ini astronom tengah meneliti kondisi alam semesta di awal penciptaannya. Berdasarkan hasil penelitian, bintang terjauh yang ditemukan berjarak sekitar 10.000 tahun cahaya. Jadi, cahaya bintang yang kita terima saat ini dari bintang terjauh pada dasarnya adalah cahaya yang dikirimkan oleh bintang tersebut 10.000 tahun yang lalu. Dengan meneliti cahaya tersebut diketahui bahwa perkiraan usia alam semesta adalah 13,7 milyar tahun yang lalu. Selain itu, dengan meneliti sifat-sifat cahaya yang datang bisa diperkirakan bagaimana kondisi alam semesta pada masa lalu. Sehingga manusia akan mendapat jawaban mengenai berbagai perkiraan kehidupan masa lalu, seperti : ice age, dinosaurus, banjir besar yang memisahkan beberapa permukaan bumi, tumbukan asteroid yang diduga sebagai sebab musnahnya dinosaurus dan lain-lain.
Terkait hubungan sains dengan Al-Qur’an, pak Djamaluddin juga menjelaskna mengenai konsep 6 tahap penciptaan alam semesta yang dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam surat Fushilat dan An-Nazi’at. Dari penelitian para scientist 6 masa itu dibagi sebagai berikut :
Masa 1 : bigbang alam semesta (QS. 79:27)
Masa 2 : mengembangkan dan menyempurnakan (QS. 79:28)
Masa 3 : pembentukan tata surya, termasuk bumi (QS. 79:29)
Masa 4 : evolusi bumi (QS. 79:30)
Masa 5 : pengiriman air ke bumi dari komet (QS. 79:31)
Masa 6 : proses geologis, lahirnya hewan dan manusia (QS. 79:32)
Hal yang paling menarik dalam kuliah tamu kemarin adalah jawaban beliau mengenai adanya kehidupan lain di luar bumi dan perbedaan dimensi dunia. Seringkali kita mendengar yang namanya alien, UFO, piring terbang dan sebagainya yang berhubungan dengan kehidupan di luar bumi. Menyangkut hal ini, pak Djamaluddin mengatakan bahwa kehidupan di luar bumi mungkin saja ada, sebab dari hasil penelitian sinyal radio yang dilakukan para astronom banyak ditemukan gelombang radio non alami yang terpancar dari beberapa benda langit. Namun, kehidupan tersebut tidak bisa disamakan dengan kehidupan manusia di bumi. Penelitian terkait itupun tidak bisa dikembangkan mengingat jarak yang begitu jauh. Misalkan saja kita ingin mengirimkan sebuah alat untuk meneliti keadaan di sana, maka dengan kecepatan cahaya saja benda tersebut baru bisa sampai ke bintang yang dimaksud kurang lebih 10.000 tahun kemudian. Dan tentu saja berbagai gambaran kehidupan luar angkasa ynag banyak ditayangkna di film-film hanyalah imajinasi dan kreatifitas manusia semata.
Sedangkan terkait perbedaan dimensi manusia dan makhluk ghoib, pak Djamaluddin memulai dengan contoh sederhana dari dimensi nol, yaitu titik. Kita tidak bisa menggambarkan sebuah garis, yang berdimensi 1, pada sebuah titik. Sama tidak mungkinnya dengan menggambarkan bangun ruang, 3 dimensi, pada sebuah bidang yang berdimensi 2. Kalaupun bisa, kita hanya bisa mengambarkan refleksinya, bukan gambar secara riil. Manusia hidup dalam dimensi 4 yang dibatasi ruang dan waktu. Maka wajar saja jika pikiran manusia tidak dapat menembus kehidupan pada dimensi yang lebih tinggi. Sebaliknya, sangat mudah bagi makhluk-makhluk ghoib melihat kehidupan manusia. Hal ini juga menjawab keajaiban isro’ mi’roj yang ditempuh Rasulullah dalam satu malam. Sebab pada saat itu Rasulullah memasuki dimensi yang lebih tinggi yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Contoh lain yang bisa kita renungkan adalah mengenai kehidupan alam kubur yang juga masuk dalam dimensi yang lebih tinggi. Secara logis, jika alam kubur masih dibatasi waktu, hasilnya adalah ketidakadilan. Sebab, orang yang mati ribuan tahun lalu dan mendapat siksa kubur tentu merasakan siksaan yang jauh lebih lama daripada orang yang mati tepat pada hari kiamat. Sehingga, sangat tidak mungkin jika kehidupan alam kubur masih dibatasi oleh waktu.
Hmm,, apa lagi yah yang beliau sampaikan. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa mengunduh file presentasinya di link berikut :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar