2 Jan 2012

The Art of Cooking


Terinspirasi kata-kata chef Juna tentang keindahan memasak. “Memasak adalah suatu yang anda cintai ketika anda berada di dapur, dan itu bukan hanya sekedar pekerjaan. Itu adalah sebuah gairah dan pekerjaan yang sulit. Saya suka memasak karena saya menilai masak sebagai seni. Ketika saya membuat hidangan baru, itu seperti telah selesai sebuah proyek seni. Berjuang untuk kesempurnaan membuat masakan yang lezat dengan bahan berbagai warna dan terlihat cantik di piring.”




Sebagai seseorang yang hobi makan, aku akhirnya terbiasa masak. Beberapa tahun terakhir aku pun menyadari bahwa memasak menjadi hobi yang mampu mengubah suasana hatiku. Lebih tenang, lebih senang. So, kalau lagi sumpek, penat atau bad mood, it’s mean that I should go to kitchen. Hehe,,,


Benar jika masak adalah sebuah seni. Dimulai dari pemilihan bahan yang sesuai, dari segi rasa dan tampilan. Permainan warna bahan dan sayuran memberikan efek cantik dan menarik gairah seseorang untuk memakannya. Selanjutnya adalah pemotongan bahan. Dulu aku sering heran kenapa ibuk punya beberapa cara memotong kangkung untuk tiap makanan yang berbeda. Seingatku ada tiga jenis potongan. Begitu juga dengan wortel dan sayuran lain. Yang lebih lucu, bahkan daun bawang pun dipotong dengan cara yang berbeda untuk makanan tertentu.


Belakangan aku menyadari bahwa disamping berpengaruh pada keindahan sajian, cara pemotongan juga membantu kematangan bahan sesuai dengan tingkat yang diinginkan. Sedikit gambaran, memasak sayur dengan kuah melimpah dan tumis yang hanya mengandung sedikit air tentu berbeda waktu pematangannya. Karena itu, pemotongan bahan untuk tumisan relatif lebih tipis daripada sayur berkuah. Dari segi bentuk, akan membantu keindahan sajian. Misalkan wortel yang dibentuk menyerupai bunga atau sosis yang dipotong menjadi kaki empat pada soup, kedua bahan merupakan bagian dari limpahan kuah, sehingga memerlukan bentuk yang menarik agar bisa menonjol di antara genangan kuah di sekitarnya. (hehe, kalau gak sepakat boleh. Coz, ini hasil analisaku sendiri)


Seni selanjutnya adalah pemilihan bumbu yang sesuai dan penentuan takaran agar menghasilkan rasa yang pas. Nah, yang ini asli angel buanget. Tapi bukan nggak mungkin untuk dipelajari lho. Tahap awal hanya mengandalkan lidah, kekurangnnya kita musti nyobain masakan itu berkali-kali sampai menemukan rasa yang pas. Hoho, bisa-bisa ketika rasanya dah pas, masakannya dah habis. Hehe. So, kita perlu bantuan feeling atau perasaan. Biasanya orang yang dah terbiasa masak punya feeling tentang ukuran bumbu. Tapi masih perlu dicek kebenarannya. Lumayanlah, mengurangi intensitas ngicipi,,, nah, kalo chef yang udah keren biasanya punya kepekaan lebih tinggi, feeling mereka bisa menentukan ukuran yang pas banget. Umumnya dipadukan dengan kepekaan kulit tangan. Kadang ditambah kemampuan penciuman. Pernah lihat kan chef yang ngibasin tangannya didepan masakan terus nyium baunya, Cuma dengan gitu aja dia tahu apakah bumbu masakannya udah pas apa belom.


Seperti layaknya seni yang lain, masakan sangat peka dengan perbedaan perlakuan. Penambahaan garam di awal, tengah atau di akhir proses memasak seringkali mempengaruhi rasa. Perbedaan pelaku juga berpengaruh, dengan resep dan cara yang sama, orang satu dengan yang lain bisa menghasilkan rasa yang berbeda. Sebuah pengalaman, dulu aku pernah ikut lomba masak saat perayaan tujuh belas agustus di kampungku. Saat itu aku masih SMP. Bidang yang dilombakan adalah membuat kue tart. Aku sekelompok berguru kepada salah seorang tetangga yang terkenal ahli bikin roti.


Dihari yang ditentukan, beliaupun membimbing kami berlatih membuat roti. Semua proses kami lakukan sendiri, beliau hanya memberikan komando. Akupun sigap mencatat tiap langkah pembuatan roti tersebut, lengkap dengan ukuran bahan dan waktu proses. Beberapa saat kemudian roti kami matang. Kulit luarnya gosong, tapi dalamnya mantap. Empuk, enak, pas banget, ngembangnya tiga kali lipat adonan mentah. Setelah kulit luar dibersihkan, hasilnya sempurna. Nyammy, sampai sekarang aku masih bisa merasakan kelezatannya, hehe lebay, itukan udah sekitar 8 tahun yang lalu.


Di hari perlombaan kami PD setengah hidup. Kami lakukan semua langkah pembuatan persis seperti pas latihan. Beberapa menit kemudian, roti kami matang. Lumayan, ngembang dua kali lipat. Tapi rasanya,,, hehe bantat. Begitulah, kami hanya nyontoh tanpa memahami. Mungkin ada beberapa hal yang luput dari pengamatan kami. Disamping adonan roti juga terkenal sensitif.


Ada satu hal lagi yang menarik dari aktivitas memasak. Pastikan perasaan kita sedang stabil saat memulai memasak. Coz, bad feeling akan sangat berpengaruh pada hasil masakan. Hal tersebut mungkin disebabkan karena emosi yang tidak menentu, sehingga membutakan kepekaan dan keseimbangan dalam meracik bumbu masakan. Disamping itu, seperti hasil penelitian yang beberapa waktu lalu santer diberitakan, bahwa air mampu menangkap aura positif maupun negatif. So, kalau kita lagi bad mood, cairan yang ada dalam masakan akan menangkap aura negatif dari pemasaknya begitu pula sebaliknya. Kalau kita bahagia, biasanya tanpa sadar masakan yang kita bikin jadi lezat. Hmm,,, jadi laper. Oh ya perlu ditekankan. Pemaparan di atas hanya pendapata pribadi sebagai hasil analisa dan hipotesa yang perlu pembuktian lebih lanjut. So, jangan dipercaya 100% yah, cukup jadikan bahan pertimbangan. Hehe.


Karena aku suka masak, jadi ada perubahan feel tiap kali memasak. Hanya dengan mempersiapkan bahan masakan saja feelku sudah berubah dari negatif ke positif. Tapi, kadang juga kalau bobot negatifnya terlalu berat, perasaan itu kebawa saat masak. Dan hasilnya,,,, semua masakan rasanya hambar. Tapi yang pasti, kemampuan memasak adalah suatu hal yang signifikan untuk seorang wanita. So, I’ll keep cooking,,,


“Memasak adalah seni, ada keindahan, kesabaran dan karakter yang melekat di dalamnya. Memasaklah, karena disitu kau akan menemukan dirimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar