Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Rabo, 31 Oktober 2012 aku mengikuti kuliah tamu dengan pembicara bapak T. Djamaluddin, seorang ahli astronomi yang beker ja di LAPAN sekaligus sebagai dosen ITB. Beliau menamatkan S1 di ITB kemudian melanjutkan S2 dan S3 d Kyoto University, Jepang. Mendengar latar belakang pendidikannya saja sudah membuatku sangat tertarik dengan kuliah tamu ini. Bayangkan saja, Kyoto University is my dream. Menjadi bagian dari para scientist di sana adalah sebagian dari misiku menuju program “Prof 35”. Lebih tertarik lagi ketika mendengar judul kuliah tamu itu adalah “Integrasi Sains-Qur’an dalam Meninjau Penciptaan dan Akhir Semesa”. Wow,, it’s great, I’ve been interested on this field early,, and I wanna know more about it. So, jangan Tanya bagaimana aku berusaha menangkap tiap detail informasi yang beliau sampaikan. Berikut akan aku ulas sebagian kecil dari materi yang beliau sampaikan.
Diawal
materi beliau menekankan dua hal yang seringkali menjadi pola pikir manusia
namun seharusnya dihindari, Pertama, menganggap semua sains di alam ini pasti
ada di Al-Qur’an, sehingga cenderung menghubung-hubungkan penemuan sains dengan
ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, secara ekstrim menganggap bahwa sains dan Al-Qur’an
adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Sehingga tidak mau menerima kenyataan
bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan sains jauh sebelum sains itu sendiri
ditemukan oleh manusia. Beliau menyebutkan dua sifat yang berbeda dari Sains
dan Al-Qur’an. Sains memiliki sifat relative dan kebenarannya senantiasa
berubah dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya penelitian manusia.
Sedangkan Al-Qur’an bersifat mutlaq, tidak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’an
yang diragukan kebenarannya. Jadi, jika memang ditemukan kesamaan antara
Al-Qur’an dan sains maka itu hanya sebatas persamaan tafsir, dimana baik tafsir
Al-Qur’an maupun tafsir sains sama-sama bersifat relatif. Secara sederhana
dapat dikatakan, Al-Qur’an memang mengandung sains, tapi tidak semua sains ada
di dalam Al-Qur’an. Karena sains adalah hasil buatan manusia, yang kebenarannya
relatif, sementara Al-Qur’an buatan Allah SWT yang kebenarannya mutlaq.
Al-Qur’an mengandung the Real Sains, yang hanya akan diketahui oleh manusia
jika Allah mengijinkan.
Pak
Djamaluddin menyebutkan sebuah contoh gambaran langit yang diberikan dalam
Al-Qur’an (QS. 67:3, 31:27, 71:15) yang menyebutkan langit bertingkat-tingkat.
Ada pula yang menyebutkan langit memiliki tujuh tingkat. Pada mulanya scientist
sepakat tujuh tingkat langit adalah tujuh lapisan atmosfer bumi, yaitu toposfer, stetosfer dst. Namun kemudian
pendapat itu mulai diragukan, apa benar yang dinamakan langit hanyalah lapisan
atmosfer di atas bumi? Lantas apakah ruang angkasa di atas atmosfer yang
menjadi tempat bintang-bintang dan benda-benda langit yang lain bukan merupakan
bagian dari langit? Pendapat itu kemudian berkembang menjadi definisi baru,
bahwasannya langit adalah seluruh alam semesta lengkap dengan berbagai galaksi
dan bintang-bintang yang mengelilinginya. Hal ini senada dengan tafsir
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa angka tujuh dalam Al-Qur’an merujuk pada sebuah
nilai yang tak terhingga, hal ini juga dapat dilihat dari perumpamaan pahala
seseorang yang diibaratkan tujuh helai padi. Al-Qur’an seringkali menggunakan
angka tujuh untuk menunjukkan suatu kelipatan.
Lebih
jauh lagi beliau menjelaskan bahwa saat ini astronom tengah meneliti kondisi
alam semesta di awal penciptaannya. Berdasarkan hasil penelitian, bintang
terjauh yang ditemukan berjarak sekitar 10.000 tahun cahaya. Jadi, cahaya
bintang yang kita terima saat ini dari bintang terjauh pada dasarnya adalah
cahaya yang dikirimkan oleh bintang tersebut 10.000 tahun yang lalu. Dengan meneliti
cahaya tersebut diketahui bahwa perkiraan usia alam semesta adalah 13,7 milyar
tahun yang lalu. Selain itu, dengan meneliti sifat-sifat cahaya yang datang
bisa diperkirakan bagaimana kondisi alam semesta pada masa lalu. Sehingga manusia
akan mendapat jawaban mengenai berbagai perkiraan kehidupan masa lalu, seperti :
ice age, dinosaurus, banjir besar yang memisahkan beberapa permukaan bumi,
tumbukan asteroid yang diduga sebagai sebab musnahnya dinosaurus dan lain-lain.
Terkait
hubungan sains dengan Al-Qur’an, pak Djamaluddin juga menjelaskna mengenai
konsep 6 tahap penciptaan alam semesta yang dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam
surat Fushilat dan An-Nazi’at. Dari penelitian para scientist 6 masa itu dibagi
sebagai berikut :
Masa
1 : bigbang alam semesta (QS. 79:27)
Masa
2 : mengembangkan dan menyempurnakan (QS. 79:28)
Masa
3 : pembentukan tata surya, termasuk bumi (QS. 79:29)
Masa 4 : evolusi bumi (QS. 79:30)
Masa
5 : pengiriman air ke bumi dari komet (QS. 79:31)
Masa
6 : proses geologis, lahirnya hewan dan manusia (QS. 79:32)
Hal
yang paling menarik dalam kuliah tamu kemarin adalah jawaban beliau mengenai
adanya kehidupan lain di luar bumi dan perbedaan dimensi dunia. Seringkali kita
mendengar yang namanya alien, UFO, piring terbang dan sebagainya yang
berhubungan dengan kehidupan di luar bumi. Menyangkut hal ini, pak Djamaluddin
mengatakan bahwa kehidupan di luar bumi mungkin saja ada, sebab dari hasil penelitian
sinyal radio yang dilakukan para astronom banyak ditemukan gelombang radio non
alami yang terpancar dari beberapa benda langit. Namun, kehidupan tersebut
tidak bisa disamakan dengan kehidupan manusia di bumi. Penelitian terkait
itupun tidak bisa dikembangkan mengingat jarak yang begitu jauh. Misalkan saja
kita ingin mengirimkan sebuah alat untuk meneliti keadaan di sana, maka dengan
kecepatan cahaya saja benda tersebut baru bisa sampai ke bintang yang dimaksud
kurang lebih 10.000 tahun kemudian. Dan tentu saja berbagai gambaran kehidupan
luar angkasa ynag banyak ditayangkna di film-film hanyalah imajinasi dan
kreatifitas manusia semata.
Sedangkan
terkait perbedaan dimensi manusia dan makhluk ghoib, pak Djamaluddin memulai
dengan contoh sederhana dari dimensi nol, yaitu titik. Kita tidak bisa
menggambarkan sebuah garis, yang berdimensi 1, pada sebuah titik. Sama tidak
mungkinnya dengan menggambarkan bangun ruang, 3 dimensi, pada sebuah bidang
yang berdimensi 2. Kalaupun bisa, kita hanya bisa mengambarkan refleksinya,
bukan gambar secara riil. Manusia hidup dalam dimensi 4 yang dibatasi ruang dan
waktu. Maka wajar saja jika pikiran manusia tidak dapat menembus kehidupan pada
dimensi yang lebih tinggi. Sebaliknya, sangat mudah bagi makhluk-makhluk ghoib
melihat kehidupan manusia. Hal ini juga menjawab keajaiban isro’ mi’roj yang
ditempuh Rasulullah dalam satu malam. Sebab pada saat itu Rasulullah memasuki
dimensi yang lebih tinggi yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Contoh
lain yang bisa kita renungkan adalah mengenai kehidupan alam kubur yang juga
masuk dalam dimensi yang lebih tinggi. Secara logis, jika alam kubur masih
dibatasi waktu, hasilnya adalah ketidakadilan. Sebab, orang yang mati ribuan
tahun lalu dan mendapat siksa kubur tentu merasakan siksaan yang jauh lebih
lama daripada orang yang mati tepat pada hari kiamat. Sehingga, sangat tidak
mungkin jika kehidupan alam kubur masih dibatasi oleh waktu.
Hmm,,
apa lagi yah yang beliau sampaikan. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa mengunduh
file presentasinya di link berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar