Hanya
orang bodoh yang mengatakan dirinya tidak memiliki cukup kemampuan untuk
bekerja. Hanya orang malas yang mengatakan fisiknya terlalu lemah untuk mencari
nafkah. Tidakkah kita melihat bagaimana kondisi orang-orang di sekitar kita?
Mereka, dengan segala keterbatasan yang dimiliki melakukan apapun untuk
bertahan hidup. Ini bukan soal hasil, tapi seberapa besar usaha yang kita
lakukan untuk mencapai hasil tersebut. Kaya itu relative. Boleh saja mereka
menyombongkan harta yang melimpah, rumah mewah, perhiasan gemerlap, mobil
berjejer, tapi sayangnya ada orang-orang yang justru lebih kaya tanpa itu
semua. Lebih bahagia hidupnya, lebih sehat jasmaninya, meski harus melakukan
pekerjaan yang jauh lebih berat. Sekali lagi, ini bukan soal hasil tapi usaha.
Aku
bertemu dengan salah seorang diantara para pejuang itu. Seseorang yang dengan
segala keterbatasannya tidak termenung menyesali nasib. Beliau bergerak,
bekerja. Jika kita mengatakan malam terlalu gelap untuk melihat dunia? lantas
apa yang dirasakan olehnya? Seorang bapak penjual kerupuk yang bahkan tidak
pernah melihat terangnya sinar mentari. Baginya setiap saat adalah malam,
gelap. Pertama kali bertemu dengannya saat aku sedang menyusuri stand-stand
pasar kaget di depan kampus 2 UIN Jakarta. Bapak itu memanggul bungkusan
kerupuk yang diuntai dengan sebuah tali, sementara tangan kanannya memegang
tongkat yang menggantikan peran matanya melihat jalan. Saat itu aku hanya diam.
Beberapa
hari kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Kali ini kami berjalan dari arah
yang berbeda. Bersama teman-teman, aku akhirnya membeli kerupuk dari bapak itu.
Kami harus membayar 15ribu untuk tiga bungkus kerupuk. Awalnya kami ragu akan
membayar dengan uang 20ribuan. Yah, dengan kondisi matanya yang seperti itu,
wajar saja jika kami ragu. Namun, tidak disangka, ketika beliau menyentuh
lembaran uang tersebut, beliau berkata, “Uangnya 20ribuan yah?” sontak kami
menjawab , ”ya” dengan ekspresi takjub. Lebih takjub lagi ketika beliau
kemudian mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberikannya pada kami.
Rabbi,,
hidup ini kadang terlalu kejam. Meski mereka mampu bertahan dalam keterbatasan,
namun tidakkah mereka berhak mendapatkan apa yang dimiliki orang lain? Miris
menyaksikan semua itu terjadi tepat di depan mataku, dan aku hanya bisa diam. Doing nothing. Semua ada hikmahnya,
begitu apa yang kudengar. Mungkin engkau menciptakan makhluk hebat seperti
mereka agar menjadi cambuk bagi kami, orang-orang yang kufur akan nikmatMu.
Ah,
tiba-tiba aku jadi teringat bapak. Tidak ada orang yang lebih hebat dimataku
selain beliau. Seorang pekerja keras, seakan lelah adalah hal yang tabu
baginya. Beliau ada kapanpun orang lain membutuhkannya. Jangan tanya untuk
kami, keluarganya. Beliau bahkan menjadi ayah bagi semua anak-anak, saudara
bagi semua orang.
Lantas
apa yang bisa kulakukan untuk menjadi seperti mereka, orang-orang hebat itu.
Aku hanya mengeluh dan mengeluh. Meski dunia senantiasa berbaik hati padaku.
Atau mungkin karena itu aku jadi manja. Haruskah dunia lebih kejam padaku? Agar
aku menjadi orang yang kuat, orang yang berprinsip, berani dalam melangkah. Oh,
ini dia jawaban atas kegalauanku. Aku terlalu menuntut hal positif, takut pada
semua yang berbau negatif. Bersiaplah gadis, mungkin kau harus jatuh
sejatuh-jatuhnya agar tau nikmatnya berdiri tegak…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar