Kutitipkan
salam pada rindu yang diam-diam merayap
Rindu
yang tak pernah terucap, tak pernah tersampaikan
Kutitipkan
salam pada lirih doa di kesunyian
Doa
yang kuharap menyentuh langit, memantul pada hati yang dikasih
Sebab
caraku berukhuwah tak berlisan
Caraku
mengasihi tak harus menuai kasih
Pada
diam, pada sunyi... kubisikkan namamu pada Rabbku...
Persahabatan, persaudaraan, entah bagaimana bisa
menjadi perasaan yang begitu emosional. Saya ingat seorang teman yang cerita
kalau dia pernah menangis karena merasa kakak yang selama ini perhatian padanya
jadi lebih perhatian ke orang lain. Menjadi biasa jika ini adalah kakak
kandungnya, tapi ini kakak ketemu gede. Seseorang yang lebih tua, akrab, lalu
dianggap kakak. Sering juga dulu waktu di pesantren denger konflik kakak adek
dari anak-anak yang tinggal di pondok. Lagi-lagi ini kakak adek ketemu gede.
Saya nggak habis pikir bagaimana bisa seseorang cemburu kepada orang yang
dianggap kakak/adek itu. Sedalam apa sebenarnya perasaan yang tumbuh diantara
mereka.
Sampai detik ini saya belum pernah merasakan hal
seperti itu. Saya punya banyak sahabat, beberapa sangat dekat. Tapi saya tidak
pernah merasa keberatan jika teman saya dekat atau bersahabat akrab dengan
orang lain selain saya. Toh, saya juga punya banyak sahabat yang lain. Kadang
saya merasa ini karena karakter. Ada orang yang memang membagi rasa kasih
sayang yang sangat dalam dengan orang-orang terdekatnya. Sehingga sangat wajar
jika ia memiliki standar perhatian yang ingin ia dapatkan. Mungkin juga karena
saya memang belum pernah benar-benar menyayangi sahabat saya. Sehingga saya
tidak bisa memahami perasaan itu. Ah iya.. saya lebih sering galak kepada
mereka.. haha
Tapi, persahabatan, persaudaraan yang teramat dalam
seperti itu memang benar-benar ada. Mendengarnya saja membuat hati tersentuh.
Sebut saja persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshor. Dua kelompok yang
belum kenal sebelumnya. Dipersaudarakan oleh kesamaan iman. Mengubah aku
menjadi kita, rumahku rumahmu, hartaku hartamu, sakitmu sakitku, kehormatanmu
kehormatanku. Ukhuwah ini yang membuat seseorang rela mengorbankan apapun
miliknya untuk saudaranya.
Saya teringat sebuah kisah tentang ukhuwah yang
begitu menyayat hati. Diriwayatkan dalam perang Yarmuk, ada tiga sahabat yang
terluka dan dalam keadaan kritis, yaitu Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi
Rabiáh, dan Ikrimah bin Abu jahal. Saat itu Al-Harits merasa haus dan meminta
minum. Sahabat lain segera mengambilkan minum untuknya. Saat air minum itu
didekatkan ke mulutnya, ia mengetahui bahwa Ikrimah sedang dalam kondisi yang
sama dengan dirinya. Maka iapun meminta si pembawa air agar memberikan air itu
kepada Ikrimah lebih dulu. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ikrimah, dia
melihat Ayyasy menoleh kepadanya. Ikrimah yang tahu kondisi Ayyasy tidak jauh
beda dengan dirinya meminta agar air itu diberikan kepada Ayyash terlebih
dahulu. Si pembawa airpun berlari ke arah Ayyasy. Namun sampai disana ternyata
Ayyash telah wafat. Iapun kembali ke Ikrimah, sampai ditempat Ikrimah, ternyata
dia juga telah wafat. Si pembawa airpun kembali berlari ke arah Al-Harits,
namun diapun telah wafat. Ya Rabb... cinta macam apa yang membuat orang rela
mengorbankan nyawanya demi saudaranya. Betapa iman telah menyatukan hati
mereka.
Ustadz Hanan pernah menyebut Itsar, yang secara umum berarti mendahulukan orang lain daripada
diri sendiri. Dalam beberapa tulisan, Itsar
disebutkan sebagai tingkatan tertinggi ukhuwah. Hal ini merujuk pada hadits
“Tidak beriman seseorang diantaramu
hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim). Rasulullah sendiri
dikenal sangat mencintai para sahabat. Beliau sangat perhatian terhadap hal-hal
detail tentang sahabat-sahabatnya. Tidak heran jika semua sahabat merasa
dirinya adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Sebab Rasulullah
selalu memperlakukan setiap orang dengan cara yang istimewa.
Kisah cinta yang sampai saat ini masih selalu
membuat saya meneteskan airmata setiap membaca atau mendengarnya adalah kisah
Bilal bin Rabbah. Seorang budak berkulit hitam yang di awal-awal Islam
menjalani siksa teramat berat dari majikannya. Ia memegang teguh keimanannya
hingga Abu Bakar memerdekakannya. Bilal kemudian dipercaya Rasulullah sebagai
muadzin yang mengumandangkan adzan setiap kali tiba waktu sholat. Suaranya yang
merdu dan lantang menggiring orang-orang meninggalkan semua aktivitas yang
dilakukannya. Berbondong-bondong menjalankan sholat secara berjamaáh. Ketika
Rasulullah kemudian wafat, Bilal merasa sangat terpukul dan kehilangan. Ia
tidak mampu lagi mengumandangkan adzan. Dengan kesedihan mendalam, dia berkata
kepada Khalifah Abu Bakar, “Biarkan aku
hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan
muadzin siapa-siapa lagi.” Dia meminta izin kepada khalifah Abu Bakar untuk
meninggalkan Madinah.
Setelah sekian lama Bilal meninggalkan madinah,
suatu hari ia melihat Rasulullah dalam mimpinya. Rasulullah berkata, “ Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal,
mengapa engkau tak mengunjungiku?Mengapa sampai seperti ini?” Bilal pun
terbangun dari mimpinya dan tanpa pikir panjang ia segera menyiapkan dirinya
untuk kembali ke madinah. Sesampai disana Bilal mengunjungi makam Rasulullah.
Ia juga bertemu dengan Hasan dan Husein, cucu Rasulullah yang memintanya untuk
mengumandangkan adzan. Umar bin Khattab, yang menjabat sebagai khalifah saat
itu juga mendorongnya. Akhirnya saat sholat tiba, Bilal pun mengumandangkan
adzan. Seketika, aktivitas kota Madinah terhenti mendengar suara Bilal. Mereka
berduyun-duyun menuju masjid Nabawi. Kenangan tentang Rasulullah kembali muncul
dalam benak setiap orang. Keharuan menyeruak. Sampai pada kalimat “ Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”,
seisi kota madinah pecah oleh suara tangis. Bilal tersedu dalam kerinduan. Ia
tak mampu lagi melanjutkan adzannya.
Itulah cinta, cinta yang lahir dari keimanan.
Ukhuwah yang tiada duanya.
Perpisahan selalu menjadi kisah pilu dalam sebuah
ukhuwah. Meski saya tak pernah merasakan apa itu cemburu dalam persahabatan.
Tapi saya berkali-kali merasa perih oleh perpisahan. Berpisah dengan
sahabat-sahabat segeng MTs yang mayoritas pindah sekolah. Berpisah dengan
sahabat di MA karena harus melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda.
Berpisah dengan sahabat-sahabat di ITS yang selama 4 tahun berjuang bersama.
Dan kini, diujung perpisahan dengan sahabat-sahabat di ITB yang sudah seperti
saudara sendiri.
Saya memang tak pandai mengungkapkan kasih sayang.
Saya lebih sering bersikap cuek, jahil, bahkan galak kepada mereka. Tapi
sungguh, saya menyayangi mereka sepenuh hati. Saya memang selalu tersenyum,
tertawa renyah saat bersama mereka. Tapi saya pun sering menangis sendiri dalam
kerinduan. Seperti saat ini, ketika kata demi kata saya tuliskan dengan sesak
di dada. Saya menyayangi mereka Ya Rabb.. dan saya ingin belajar itsar dari
para sahabat. Maka ajari saya untuk mengalah, ajari saya untuk ikhlas
sebagaimana mereka selalu memaklumi segala kekurangan saya. Saya menyayangi
mereka... maka izinkan mereka bahagia, Ya Ilahii...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar